Chapter 17 - Cita cita dan Masa Depan (Part 4)

38 8 0
                                    


Gerimis tipis mulai turun, menyelimuti kosan dengan suasana dingin dan tenang. Lampu-lampu jalan yang remang terlihat dari kejauhan, memantulkan kilauan halus di atas aspal basah. Di teras kosan, Kian dan Icang–yang ternyata sama-sama berasal dari Tasikmalaya, sedang sibuk dengan obrolan ngalor ngidul. Keduanya duduk bersantai beralaskan karpet, ditemani suara rintik hujan, rokok kretek dan kopi hitam yang masih hangat.

Sementara itu, di ruang tengah kosan, suasananya sedikit lebih serius. Livia, Budi, Ucok dan Aji duduk santai pada sofa, dengan beberapa cemilan tersebar di atas meja.

"Jadi kira kira, bisnis apa yang cocok buat anak kosan kayak kita gini?" ujar Budi membuka diskusi mereka yang tertunda kemarin, sambil membakar sebatang rokok.

Ucok menatap sambil memainkan rokok di tangannya. "Tadi siang awak berpikir keras, mempertimbangkan kesibukan utama kita saat ini, ada bagusnya kita mulai dengan yang simple simple aja."

Aji, yang bersandar santai di sofa, menambahkan, "Iya, tapi kalo kita bagi tugas masing masing, kayaknya bisnis apapun bisa."

Budi menyeringai. "Yoi, tapi gua setuju sama Ucok, yang simple aja dulu tapi kita harus punya branding, gitu loh."

Livia tampak berpikir sejenak, lalu bertanya, "Tapi kalian yakin bisa konsisten? Soalnya bisnis teh gak kayak kerja kantoran, loh. Kalau gak fokus, bisa kacau."

Budi mengangkat bahu. "Kita coba aja dulu. Seenggaknya, lebih baik daripada kita gak punya rencana sama sekali."

Ucok menepuk lututnya, lalu berkata dengan optimis, "Aman! Yang penting kita jalanin bareng-bareng."

Di teras, Icang melirik ke dalam rumah dan melihat mereka masih serius membicarakan rencana bisnis. Ia tertawa kecil.

"Tah, kieu anak muda teh, kudu boga kadaek," gumamnya sambil menyeruput kopi, mendukung kegiatan positif mereka.

Kian mengangkat alis. "Nyak atuh, Mang. Barudak didieu mah tara kanu aneh aneh." Menjelaskan kepada Icang, bahwa kawan kawannya tidak pernah membuang waktu dalam kegiatan yang buruk.

"Nyak eta hade, Mang mah satuju pisan. Baheula mah mang keur ngora ngadon hayang jadi jeger di pasar induk, belegug pisan," balas Icang tertawa kecil, dan mulai melanjutkan cerita tentang masa mudanya di pasar induk Caringin kepada Kian.

Di ruang tengah, setelah berdebat soal ide bisnis, Livia akhirnya mengusulkan sesuatu yang lebih sederhana namun punya potensi.

"Aku teh kepikiran, gimana kalo kalian mulai dari usaha keripik pisang atau singkong? Modalnya gak terlalu besar, prosesnya juga gak ribet. Sekarang kan makanan ringan lagi booming," ujar Livia dengan yakin.

Ucok dan Budi saling pandang, lalu mengangguk setuju.

"Masuk akal," sahut Ucok. "Bisa kita jual online, di warung, atau titip di toko oleh oleh."

Budi menambahkan, "Iya, bisnis makanan ringan tuh gak ada matinya. Yang penting rasanya enak dan packaging-nya menarik."

Livia tersenyum puas melihat antusiasme mereka. "Kalian mulai kecil kecilan aja dulu. Yang penting mah konsisten."

Namun, mereka sadar kalau ada satu orang yang belum terlibat. Dion belum hadir karena minggu ini dia mendapatkan shift kedua.

Aji memutuskan untuk memberi tahu Dion soal rencana bisnis ini. Ia membuka ponselnya, lalu mengetik pesan di grup WhatsApp kosan:

"Yon, lanjutan bahasan kemarin itu, kita mau coba bisnis keripik pisang atau singkong. Setuju ndak? Makan malam udah dibeliin Livia, kapan pulang?"

Beberapa menit berlalu, Dion membalas pesan itu:

"Wah, ide bagus! Eh sabar beta hari ini inventory cuk, si fahrel, barista junior. Gak kerja td, duduk cari micet, anjeng emang tu anak halal, jadi tengah malam beta pulang."

Aji tertawa sesaat saat membaca balasan dari Dion, lalu segera menyampaikan kabar kepada yang lain. "Dion setuju. Nanti katanya dia mau ikut ngerencanain lebih lanjut."

"Bagus!" sahut Budi. "Berarti kita udah lengkap. Besok kita bisa mulai breakdown modal dan langkah awalnya."

Ucok tampak bersemangat, membayangkan keripik buatan mereka sukses besar. "Ini bisa jadi jalan buat kita, nih. Kalo laku, kita bisa fokus ke sini dan ninggalin pekerjaan lama."

Kosan ChroniclesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang