Malam itu, Aji duduk termenung dalam lamunan di rumah temannya di Ciwidey. Meskipun dia mengatakan akan pulang ke Malang, sebenarnya ia hanya butuh waktu untuk menjauh sejenak dari semua tekanan yang dirasakannya. Suasana sunyi dan tentram di pegunungan Ciwidey tidak banyak membantu meredakan pikirannya yang bergejolak.Ia merasa stres dengan masalah-masalah yang terus menghantuinya, tapi tak tahu harus memulai dari mana untuk menyelesaikannya. Dalam kesunyian malam itu, Aji hanya bisa terdiam, merenungkan keputusan-keputusan yang telah diambil, merasa semakin terasing dari orang-orang di sekitarnya.
Sapto, teman Aji, datang menghampirinya di beranda rumah dengan dua cangkir kopi panas di tangan. Wajahnya santai, berbeda dengan Aji yang tampak gelisah. Sapto duduk di sebelah Aji, menyerahkan satu cangkir kopi dan membuka bungkus rokoknya."Minum dulu kopinya, Ji. Biar rileks," ujar Sapto dengan senyum kecil. Mereka diam sejenak, hanya suara gemerisik daun dan hembusan angin yang terdengar, mengisi keheningan malam di Ciwidey.
Setelah beberapa saat menikmati kopi dan asap rokok yang mengepul pelan di udara dingin, Sapto memecah keheningan, "Udah 3 malem kamu disini, terus aja ngelamun... Aku tahu kamu lagi banyak pikiran, Ji. Kalo ada yang mau diceritain, cerita aja."
Aji menghela napas begitu dalam, menatap cangkir kopinya sebelum akhirnya berkata, "Sebener'e, Sap... Aku bukan cuma stres soal kerjaan atau masalah di Bandung. Ada sesuatu yang bikin aku ndak tenang."
Sapto mengangguk pelan, menunggu Aji melanjutkan. "Aku isih kepikiran soal dia..." lanjut Aji, suaranya pelan namun sarat dengan emosi yang tertahan.
Sapto tersenyum samar, paham arah pembicaraan ini. "Lah? Kowe lagi jatuh cinta, Ji?" tanyanyaAji mengangguk. "Ho'oh, Sap. Perasaan ini terus ada, tapi aku ndak yakin apa yang harus dilakuin. Koyok'e makin jauh dari apa yang aku inginkan."
Sapto menghisap rokoknya dalam-dalam, lalu menghembuskannya pelan. "Perasaan ke seorang wanita emang ndak pernah gampang, Ji. Apalagi kalo kamu ndak yakin dengan respon'e. Tapi, kadang, kamu mesti ambil risiko. Ndak semuanya bisa dipikirin terlalu lama."
Aji menggeleng sambil tersenyum, "Ndak gitu, Sap... Ceritane aku wis ngalah, Sap. Aku wis ndak ngarep apa apa dari dia. Aku cuma iso mengagumi dia dari jauh sekarang. Aku sadar, aku ndak pantes buat sayang sama dia, apalagi memiliki dia."
Sapto mengerutkan kening, tampak tidak puas dengan jawaban Aji. "Ji, Kowe ra iso terus-terusan koyok ngene. Iki cinta pertama... Kenapa ndak kamu ungkapin aja? Daripada dipendem teros dan akhirnya kamu yang sakit sendiri?"
Aji menggeleng pelan, mencoba tersenyum, meski terlihat getir. "Ndak semudah itu, Sap. Aku wis terimo kalo dia bukan buat aku. Mungkin emang lebih baik koyok ngene."
Sapto meneguk kopinya dengan cepat, lalu meletakkan cangkirnya dengan sedikit keras di meja, tanda frustasi. "Wis pancen angel iki! Ji dengerin deh. Kamu ndak akan pernah tahu apa yang bisa terjadi kalo kamu ndak coba. Kadang kamu cuma perlu jujur sama diri sendiri dan sama dia. Biarin dia tahu apa yang kamu rasain. Kalau ndak, Kamu bakal terus-terusan terjebak di perasaan yang ndak ada ujungnya."
Aji terdiam, tidak langsung membalas. Kata-kata Sapto menggema di pikirannya. Meski ia sudah merasa dirinya telah melangkah maju, ada bagian kecil di hatinya yang terusik oleh saran itu.
Sapto menatap Aji dengan serius, menyadari bahwa sahabatnya sedang terjebak dalam perasaan yang rumit. Ia menghela napas dalam-dalam, lalu berkata dengan suara yang lebih tenang namun penuh keyakinan, "Ji, aku ngerti kamu udah capek sama semuanya. Tapi kadang, yang bikin kamu berat itu bukan perasaan ke dia, tapi justru karena kamu ndak pernah bener-bener ngasih kesempatan buat diri sendiri buat ngungkapin apa yang ada di hati."Aji masih terdiam, mendengarkan dengan seksama.
Sapto melanjutkan, "Tahu kan? Ndak semua hal di dunia ini bisa diatur semau kita. Tapi yang bisa kita atur adalah keberanian kita buat ngambil langkah. Hidup ndak selalu tentang menang atau kalah, tapi tentang kita yang bisa berdiri dengan jujur sama diri sendiri. Jangan sampe kita nyesel, karena kita ndak pernah kasih tahu perasaan kita ke seseorang. Kamu ndak bisa terus nahan apa yang kamu rasain, Ji."
KAMU SEDANG MEMBACA
Kosan Chronicles
Humor"Kosan Chronicles" adalah potret kehidupan para penghuni kosan di era modern. Novel ini mengikuti kisah sehari-hari sekelompok anak muda dengan latar belakang yang beragam, yang tinggal bersama di sebuah kosan minimalis di tengah kota. Namun, hidup...