Di sudut ruang tunggu yang sempit dan beraroma keringat, Kian duduk bersandar pada kursi lipat yang nampak sudah usang. Tangan kirinya menggenggam berkas CV, sementara kaki kanannya mengetuk lantai dengan ritme gelisah. Di sebelahnya, Galih sibuk mengutak-atik ponsel, wajahnya tenang namun sedikit lelah."Gimana? Udah siap belum, Bang?" tanya Kian, suaranya rendah, hampir berbisik. Sorot matanya menyapu ruangan, memperhatikan pintu yang belum juga terbuka.
Galih mengangkat bahu tanpa mengalihkan pandangannya dari layar ponsel. "Siap nggak siap, yang penting udah sampai sini. Toh, tinggal jawab pertanyaan doang kan."
Kian mengangguk, tapi dalam hatinya ada keraguan. Sejak beberapa hari terakhir, hidupnya terasa seperti satu setengah langkah di belakang. Terlebih setelah dipecat oleh Ronny, hari hari yang dipenuhi dengan rebahan membuat jiwanya terasa suram, walaupun sebenarnya ia sudah mulai nyaman berkarir sebagai pengangguran. Hari ini, dia ingin membuktikan pada dirinya sendiri bahwa dia bisa melangkah maju, tapi rasa cemas itu tak mau hilang.
Di seberang mereka, pintu ruang interview terbuka, dan seorang pria keluar dengan langkah santai. Wajahnya tampak tenang, bahkan terkesan puas. Kemeja putihnya licin tak berkerut, berbeda jauh dari CV Kian yang sudah lecek di tangannya. Dia menatap sekilas ke arah Kian dan Galih, pandangannya penuh dengan kesombongan, seolah yakin bahwa posisi di dealer ini sudah jadi miliknya.
Kian dan Galih saling melirik tanpa sepatah kata pun. Dalam hati, keduanya kompak bergumam, 'Songong amat, badut."
Pria itu berlalu begitu saja, tak lama kemudian, seorang wanita berblazer hitam membuka pintu ruang interview lagi. Matanya menyapu daftar nama di tangannya, sebelum akhirnya menatap ke arah Galih. "Pak Galih, silakan masuk."
Galih menarik napas dalam-dalam, wajahnya mendadak serius. Dia merapikan kerah kemejanya, lalu berdiri. Sebelum berjalan menuju pintu, Kian menyentuh lengannya sebentar.
"Mangat, Bang," kata Kian dengan nada rendah tapi penuh keyakinan. Senyumnya tipis, tapi tulus.
Galih menoleh dan balas tersenyum, meski gugup tampak di matanya. "Doain ya, Yan." Galih melangkah masuk ke dalam ruangan, sementara Kian menatap pintu yang tertutup di hadapannya, berusaha menahan kecemasannya sendiri.
Tak lama setelah Galih masuk ke ruang interview, secara kebetulan Budi dan Akbar berjalan melintasi ruang tunggu. Budi, dengan gaya santainya yang selalu usil, tersenyum lebar begitu melihat Kian duduk sendirian.
"Loh loh heh!? Siapa ini! Oh ada pengangguran lagi cari kerja!" goda Budi sambil melempar tatapan geli. Akbar, yang mengikuti Budi hanya tersenyum kecil, melihat kelakuan temannya.
Kian hanya membalas dengan senyum tipis, mencoba tak terlalu memperdulikan. "Calon Kepala Marketing" jawabnya dengan nada ringan.
"Wah, semangat ya, Pak kepala marketing! Kita duluan ya mau ada meeting mingguan" tambah Budi sambil mengedipkan mata. Dengan tawa kecil, dia dan Akbar melangkah pergi menuju ruang meeting.
Kian menarik napas panjang, berusaha menenangkan diri. "Santai, Boy. Ini cuma masalah waktu, nanti aing pecatin satu satu kalo udah jadi kepala marketing" gumamnya pada dirinya sendiri, sesaat dia lupa jika statusnya saat ini masih berada di level pengangguran.
Setelah menunggu cukup lama, pintu ruang interview akhirnya kembali terbuka. Galih melangkah keluar, wajahnya bercampur antara lega dan lelah. Kian segera berdiri, matanya menatap temannya, mencari petunjuk di wajah itu.
"Gimana, Bang?" tanya Kian, suaranya sedikit tegang.
Galih menghembuskan napas panjang, mengangkat bahu sambil mengusap belakang lehernya. "Nggak seburuk yang gue kira, tapi lo harus siap jawab pertanyaan aneh-aneh. Tenang aja, Yan. Inget apa yang Budi ajarin."
KAMU SEDANG MEMBACA
Kosan Chronicles
Humor"Kosan Chronicles" adalah potret kehidupan para penghuni kosan di era modern. Novel ini mengikuti kisah sehari-hari sekelompok anak muda dengan latar belakang yang beragam, yang tinggal bersama di sebuah kosan minimalis di tengah kota. Namun, hidup...