Di ruang rawat RS. Hasan Sadikin, suasana sunyi namun tegang. Livia telah memastikan Aji mendapatkan perawatan terbaik, memindahkannya ke ruang khusus dengan segala fasilitas yang bisa membantu pemulihannya dari cedera gegar otak yang dialaminya. Aji masih terbaring lemah di ranjang, kepalanya sedikit diperban, namun matanya terbuka, memperhatikan teman-temannya yang kini duduk di sekitarnya.
Budi dan Livia duduk bersebelahan. Budi menatap Aji penuh kekhawatiran, sementara Livia terlihat serius, memikirkan bagaimana cara meminta maaf kepada Andin dengan baik. Rui, berdiri tegak di luar ruangan, matanya tajam memantau siapa pun yang melewati ruangan tersebut, memperhatikan situasi dengan sikap waspada.Di kursi lain, Andin duduk dengan tangan menggenggam erat tangan Aji. Ia tak pernah lepas dari sisinya sejak hari itu, memastikan Aji mendapatkan perhatian penuh. Wajahnya sedikit pucat, namun ia berusaha terlihat kuat di depan semua orang. Di sisi Andin, Ucok dan Dion duduk berdampingan, keduanya memasang ekspresi serius yang jarang terlihat. Mereka tahu situasi ini belum selesai, entah apa yang akan dilakukan Haris selanjutnya.
Budi akhirnya menghela napas panjang dan memecah keheningan, "Haris berhasil kabur, dan sekarang kita kagak tahu dia dimana. Ini berbahaya buat kita semua, terutama buat Aji sama Andin."Andin mengangguk pelan, menahan perasaannya, "Aku gak tenang sebelum dia ketangkep. Setelah apa yang dia lakukan sama kita semua, siapapun di antara kita bisa jadi target berikutnya."
Dion yang sejak tadi diam akhirnya bicara, "Kitorang harus berpikir ke depan. Mungkin Haris berusaha sembunyi, tapi kemungkinan besar dia tak akan tinggal diam."
Ucok mengangguk setuju, menatap teman-temannya dengan serius. "Awak setuju. Dan kita semua harus siap kalau dia balik lagi."
Livia menatap mereka semua, lalu kembali memandang Aji. "Sejujurnya, buat saat ini... Aku rasa kalian bisa tenang. Haris gak mungkin bertindak dalam waktu deket ini. Fokus kita sekarang yaitu nunggu Kian dan Aji pulih. Setelah itu, kita bisa rencanain langkah selanjutnya."
Ucok yang mendengar nama Kian disebut, dia jadi teringat tentang percakapan mereka di telepon pagi ini, "Soal Kian, tadi pagi awak ditelpon sama dia," Ucok memulai, suaranya rendah namun terdengar jelas di ruangan itu. "Dia bilang... dia gak kuat. Penyerangan Bob dan Julianto malem itu, ngasih dampak besar buat dia. Secara mental, dia terguncang."
Wajah Budi terlihat prihatin, merasa simpati terhadap kondisi Kian. Andin memandang Ucok dengan wajah penuh perhatian, seolah merasakan sendiri ketakutan dan kecemasan yang dialami Kian. Dion pun mengangguk pelan, memahami situasi berat yang dihadapi temannya.
"Kian bilang... dia mau pulang ke Tasikmalaya. Dia butuh waktu buat nenangin diri," lanjut Ucok dengan nada sedih. "Dia gak bisa ada disini lagi."Andin menarik napas dalam, pandangannya jatuh ke arah Aji yang masih terbaring lemah. "Aku bisa ngerti kalo dia mau pulang. Setelah apa yang udah terjadi, pasti gak mudah buat Kian ngelupain semuanya."
Budi mengangguk setuju. "Yang penting sekarang Kian bisa pulih dulu. Kita gak bisa maksa dia buat hadapi ini."
Livia ikut menimpali dengan nada prihatin, "Aku bakal minta Indira buat nganterin dia pulang ke Tasik, aku yakin kalo dianterin Indira dia bakal aman."
Ucok mengangguk, merasa didukung oleh teman-temannya. "Awak juga bilang ke Kian buat jaga diri baik-baik di sana, dan gak perlu ragu hubungin kita kapan pun dia butuh."
Semua yang hadir mengangguk, memahami bahwa mereka harus membiarkan Kian pulang ke Tasikmalaya untuk menenangkan diri. Meski kepergian Kian membuat perasaan mereka berat, mereka sadar bahwa apa yang Kian alami malam itu, bukanlah sesuatu yang mudah untuk dilupakan.
Setelah beberapa waktu, Livia tampak mulai bergelut dengan perasaannya, seperti ada sesuatu yang ingin ia sampaikan. Akhirnya, ia menoleh pada Andin. "Andin, apa boleh kita bicara sebentar?" tanya Livia dengan nada hati-hati.
Andin mengangguk, meski ada sedikit kebingungan di wajahnya. Budi melihat hal ini dan tanpa mengatakan apa pun, segera memberi isyarat pada Dion dan Ucok untuk meninggalkan ruangan, memberi mereka privasi. Namun, saat mereka semua sudah keluar, Budi justru berhenti di luar pintu, merasa ada dorongan untuk tetap mendengarkan percakapan mereka dari balik pintu.
Dengan perasaan gugup, Livia akhirnya mulai bicara pada Andin, mengungkapkan permintaan maafnya. "Andin, maafin aku, aku pernah nyakitin perasaan kamu...Maaf, karena aku udah egois, maksa Bubu jadi pacar aku."
Andin tampak terkejut mendengar kata-kata Livia. Dia menatap Livia sejenak, lalu menunduk, mencoba menyembunyikan perasaan yang muncul di wajahnya. Di sisi lain, Livia berusaha menenangkan dirinya, merasa hatinya lebih ringan setelah akhirnya mengutarakan permintaan maaf yang sudah lama ia pendam.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kosan Chronicles
Humor"Kosan Chronicles" adalah potret kehidupan para penghuni kosan di era modern. Novel ini mengikuti kisah sehari-hari sekelompok anak muda dengan latar belakang yang beragam, yang tinggal bersama di sebuah kosan minimalis di tengah kota. Namun, hidup...