Chapter 19 - Andin Pratiwi (Part 2)

36 8 0
                                    


Suasana malam di kota Bandung begitu menenangkan. Jalan-jalan yang tadinya sibuk mulai lengang, hanya sesekali ada kendaraan yang melintas. Lampu-lampu jalan berderet di sepanjang trotoar, memancarkan cahaya kuning temaram, diselingi oleh semilir angin yang menyentuh wajah Aji dan Andin saat motor melaju perlahan di jalan beraspal. Dalam perjalanan, Aji mulai bercerita tentang pengalamannya hari ini sebagai pengemudi ojek online.

"Din, tahu ndak, tadi siang aku dapet orderan yang kacau banget," kata Aji sambil terkekeh. Andin mengangkat alisnya penasaran. "Kacau gimana?"

"Jadi tadi siang aku dapet orderan paket, pas aku samperin... Busett Dinn... paketnya mesin cuci" jawab Aji sambil tertawa. "Aku kan ndak bisa cancel sendiri, takut turun performa. Akhirnya aku minta tolong sama yang pesen, minta cancel. Ehh dia ndak mau cancel, kepaksa deh aku ambil orderannya,"

Andin ikut tertawa mendengar cerita itu. "Haha, kok ada ya orang yang tega pesen paket tapi suruh bawa mesin cuci? Udah gitu, kamu nih sama aja, kok malah di ambil, Ji? Itu kan bahaya, kalo kamu kenapa napa gimana?"

Aji mengangguk, masih tersenyum. "Yah... Namanya kepaksa, Din. Terus juga ada yang bikin males nih. Sore tadi ada ibu-ibu yang tiba-tiba curhat. Sepanjang jalan, dia ngobrolin soal kelakuan temennya sambil marah marah. Aku cuma bisa jawab 'iya bu, iya bu' sambil nyetir."

Andin menutup mulutnya, berusaha menahan tawa. "Kasian banget kamu, Haha. Jadi pendengar keluh kesah ibu-ibu."

Aji mengangkat bahu dengan santai. "Udah biasa, Din. Tapi yang penting aku senang bisa bantu orang. Dan hari ini, yang bikin lebih senang lagi... ya bisa jemput kamu," katanya sambil melirik ke arah spion, tersenyum kecil.

Andin tersipu, tapi tetap berusaha menyembunyikannya di balik helm. Dia tidak menyangka, di tengah semua kesederhanaan Aji, ada kehangatan yang selalu membuatnya merasa nyaman. Dan setiap kali Aji bercerita keluh kesah tentang pekerjaannya, Andin yang merasa dunianya rumit, perlahan-lahan menjadi lebih mudah dipahami dan lebih ringan dijalani.

Ketika motor Aji berhenti di depan gerbang rumah Andin, dia jadi teringat tentang kotak makan siang milik Andin. "Din, makasih ya bekalnya. Besok kotaknya aku balikin kalo udah dicuci, tenang aja, ndak bakal hilang kok," kata Aji dengan nada bercanda, mencoba meringankan suasana seperti biasanya.

Andin tersenyum dan mengangguk. "Iya gak apa apa, Ji. Tapi jangan lupa pas kembaliinnya di isi lagi, ya," balasnya bercanda, masih dengan senyum di wajahnya. Namun, sebelum mereka bisa melanjutkan obrolan, butiran hujan mulai turun perlahan, membasahi jalan di depan rumah Andin.

Andin memandang ke langit, melihat awan gelap yang tiba-tiba menggantung rendah, dan kemudian menoleh ke Aji. "Ji, kayaknya bakal hujan deras nih. Yuk, neduh dulu di depan rumah," tawarnya sambil melangkah menuju halaman yang tertutup kanopi.

Aji sempat ragu sejenak, tapi akhirnya mengangguk. "Wah, boleh juga, deh. Daripada basah kuyup di jalan." Dia memarkir motornya dengan rapi di pinggir, lalu berjalan mengikuti Andin, mencoba menahan senyum yang muncul di wajahnya. Ini bukan pertama kalinya mereka berbincang, tapi ada sesuatu yang berbeda dengan momen ini — hujan, keheningan, dan keakraban yang terasa nyaman.

Mereka duduk berdua di bangku teras, mendengarkan bunyi hujan yang mulai deras, menimpa genting dan dedaunan di sekitar. Sesekali, Andin melirik ke arah Aji yang tampak tenang, hanya memperhatikan hujan sambil sesekali menggosok tangannya yang sedikit dingin.

"Dingin ya? Aku bikinin kopi, ya?" tanya Andin, menatap Aji dengan sedikit khawatir.

"Ndak dingin kok... Eh... Tapi boleh deh, Din. kayaknya ini bakal lama ujannya" kata Aji dengan tawa kecil, matanya kembali memandang ke arah hujan yang deras.

Sambil menunggu Andin yang masuk ke dalam rumah, Aji mengecek ponselnya untuk membalas chat yang belum sempat dia balas karena kesibukannya hari ini. Namun, pintu rumah mendadak terbuka, dan Euis keluar dengan senyuman hangat. "Aji, lagi nunggu ujan reda, ya?" sapanya ramah.

Kosan ChroniclesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang