Chapter 16 - Cita cita dan Masa Depan (Part 3)

33 7 0
                                    


Sore itu di warung Mang Ujang, Kian duduk santai sambil menyeruput kopi hitam dan menikmati sebatang rokok. Helmnya tergeletak di samping, hari ini orderan ojek online-nya sedang sepi. Ia memandangi jalanan yang mulai ramai oleh kendaraan, sambil iseng membuka ponselnya. Notifikasi dari grup WhatsApp kosan muncul, dan pesan Budi menarik perhatiannya.

"Iuran kosan udah gua transfer ke Pak Cece ya. Kian sama Aji bisa bayar ke gua langsung."

Kian menatap pesan itu dengan sedikit kesal. Ia tahu uangnya saat ini pas-pasan, dan kalau bayar kosan, dompetnya akan benar-benar kering.

"Duh, Aing kurang 70 ribu, Bang Bud. Tapi ntar deh, aku coba cari jalan."

Tak lama, Budi membalas, "Kagak usah pusing, Yan. Abang tambahin aja, gak masalah."

Kian menatap layar ponselnya, merasa sedikit tidak enak. Budi memang sering membantu teman-teman kos, tapi dia bukan tipe orang yang nyaman dengan bantuan tersebut.

"Seriusan nih? Yaudah, aku bayar sisanya di cicil ya. Makasih, Bang Bud."

Beberapa detik kemudian, Aji ikut merespons di grup.

"Aku bayar malam ini, Bang Bud. Abis anterin Icha, nanti langsung pulang."

"Ciyee Icha, Kiw kiw. Ajakin ke kosan lah! Gua penasaran sama Icha." balas Budi bercanda.

Melihat pesan itu, Kian tersenyum tipis. Dia jadi teringat tentang kejadian semalam, sambil menaruh ponselnya, dia kembali berpikir santai.

Mang Ujang, yang sedang menyapu lantai, tiba tiba menoleh ke arah Kian. "Sepi, Yan? Dari tadi mangkal di sini aja."

Kian mengangkat bahu sambil menatap aplikasi ojolnya. "Iya nih, Mang. Rejeki hari ini lagi bener-bener gak ada yang nyangkut. Bentar lagi mau pulang aja deh, biar gak banyak pikiran."

Mang Ujang terkekeh. "Kaleum weh, rejeki mah moal kamana. Kalo nggak dapet hari ini, besok juga pasti ada."

Kian tersenyum tipis dan menutup aplikasi di ponselnya. Meskipun hari ini sedikit berat, dia berusaha tetap tenang. Hidup anak kos memang penuh perjuangan, dan hari ini hanya salah satu dari sekian banyak hari yang harus ia hadapi dengan kepala dingin.

Kian segera membayar kopi dan pamit untuk pulang ke kosan, karena sore itu awan mendung menggantung berat di atas Kota Bandung, seolah siap menumpahkan hujan kapan saja. Setelah beberapa saat, akhirnya tiba di kosan dengan tubuh yang sedikit penat. Langit masih gelap menggantung, namun hujan belum turun, seolah menunggu waktu yang tepat untuk mengguyur kota. Saat Kian membuka pintu kosan, aroma asap rokok dan suara TV yang menyala menyambutnya. Di ruang tamu, Budi duduk santai di sofa, mengenakan kaus putih dengan boxer hitamnya, sambil menyeruput soda botolan dan mengepulkan asap rokok.

"Waduh, Kang ojol pulang nih!" sapa Budi begitu melihat Kian masuk.

"Yo, Bang!" balas Kian sambil menaruh helm dan melepaskan jaketnya. "Asik bener Bang Bud. Sore-sore begini udah santai abis."

Budi tertawa kecil. "Lah, abis kena macet tadi, waktunya senengin diri sendiri. Biar gak panik, lah."

Kian ikut duduk di sebelahnya, menyandarkan tubuh sambil meregangkan bahu. "Dingin banget anginnya hari ini. Kayaknya hujan gede bentar lagi."

Budi meniupkan asap rokok sambil mengangguk setuju. "Iya, ini Bandung udah mulai masuk musim hujan. Siap-siap aja, tiap hari bakal basah kuyup di jalan."

Kian tertawa kecil. "Aduh, makin seru dah nge-ojol kalau gini. Helm basah, jaket bau lembab."

Mereka berdua tertawa kecil, menikmati obrolan ringan yang sudah menjadi rutinitas sehari-hari di kosan. Namun, dalam ketenangan itu ponsel Budi bergetar di atas meja.

"Wah Livia," kata Budi ketika melihat layar ponselnya. Dia tersenyum tipis, lalu menggeser layar untuk menjawab panggilan. "Halo, Vivi..."

"Halo, Bubu... gimana udah sampe kosan?"

"Iya, abang udah sampe nih lagi sama Kian, Vivi jadi kesini kagak?"

"Iya Bubu, ini teh aku lagi otw kesana, tapi kena macet nih Bu..."

"Oh iyaudah, ati ati kalo gitu, ditunggu ya, Vivi." sahut Budi lalu kembali menaruh ponselnya di atas meja.

Kian langsung menggoda Budi setelah puas menguping pembicaraan Budi dan Livia, "Wee. makin lengket aja ni abang, ya! Kemarin bilangnya posesip-posesip, ceilah posesip."

Budi menatap Kian dengan senyuman yang tergelincir di wajahnya, "Yah, mulai nih ledekin abang mulu dah."

Kian, yang penasaran dan memang suka mengolok-olok Budi, menegakkan badannya dan memasang gaya serius seperti seorang pembawa acara podcast. Ia mengambil vas bunga dan berpura-pura seolah itu adalah mikrofon.

"Oke, Sobat Kosan, selamat datang di 'Podcast Kamar Sebelah'!" ujar Kian sambil menjentikkan jarinya dengan dramatis. "Di episode kali ini, kita bakal kupas tuntas perbandingan sang mantan legendaris, Andin!!! dan kekasih masa kini, Livia!!!. Bersama narasumber kita di sore iniii... Budi 'Sang Penakluk Hati'!"

Budi hanya bisa cengar cengir, sambil menggeleng. "Aduh, gila lu, Yan. Ngapain ngebahas beginian?"

Kosan ChroniclesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang