Malam itu semakin larut, dan suasana di kosan terasa hening. Budi, Ucok, dan Dion duduk di ruang tengah, saling menatap dengan cemas. Jam dinding di sudut ruangan terus berdetak, seakan mempertegas betapa lama Kian belum juga pulang.
"Kemana ini si Kian? lagi kacau gini malah belom balek dia," gumam Ucok, sambil memegang ponselnya, berharap ada pesan atau panggilan masuk dari Kian.
"Tadi katanya cuma mau ketemu sebentar sama Andin," tambah Budi yang terlihat lebih khawatir dari biasanya. Dia mencoba menghubungi Kian beberapa kali, tapi panggilannya selalu tak terjawab. Dion yang biasanya santai pun tak bisa menyembunyikan rasa cemasnya. Dia merapatkan jaketnya, seolah mencoba menenangkan diri dari rasa khawatir yang merayap.
Ucok berdiri tiba-tiba, memecah keheningan, "Bud, kau coba telepon Andin. Aneh banget deh, masa dia mau nginap disana?"
Budi menghela nafas, menatap Ucok dengan lemas, "Gak bisa, Cok. Andin udah benci sama gua, kalo gua yang telepon, jelas gak akan diangkat. Lu aja yang telepon, Cok!"
Ucok langsung mengeluarkan ponselnya dan mencari kontak Andin. Panggilan tersambung, dan beberapa detik kemudian terdengar suara Andin di ujung telepon, "Halo, Kak Ucok? Ada apa?"Ucok segera menjawab, "Din, tolong bilangin sama Kian, cepetan pulang, di kosan lagi gawat."
Andin terdengar agak terkejut, "Loh, Kian udah pulang kok dari tadi. Abis ngobrol lumayan lama di rumah aku, dia langsung pamit pulang."
Ucok menoleh ke Budi dan Dion dengan ekspresi bingung, "Andin bilang, Kian udah pulang dari tadi... "Mendengar itu, Budi langsung merasakan firasat buruk yang membuat dadanya sesak. Dia berdiri dari kursinya dengan wajah tegang, "Astagfirullah... Pasti ada masalah lagi ini! Kita kagak bisa diem aja, kita harus cari Kian sekarang. Mungkin dia ada di sekitar perjalanan dari Muara Sari ke kosan."
Dion yang biasanya lebih santai pun terlihat serius, "Iya, kitorang tak bisa nunggu lebih lama. Kalau tadi dari rumah Andin, berarti kemungkinan dia di jalan pulang dari sana."
Ucok mengangguk cepat sambil menutup telepon, "Oke, kita bagi tugas. Awak nyusurin jalan ke arah selatan, siapa tahu dia nyangkut di sana."
Budi segera menyiapkan helmnya dan menarik nafas dalam, "Gua lewat jalur yang sering dia pakai, semoga aja dia cuma mampir ke warung atau apalah." Tapi dalam hatinya, Budi tahu ini mungkin lebih dari sekadar mampir.
Mereka bertiga dengan cepat naik motor masing-masing, menyusuri jalanan yang semakin gelap di bawah langit malam. Setiap sudut jalan mereka perhatikan, berharap menemukan sosok Kian atau setidaknya petunjuk yang bisa membawa mereka ke tempatnya. Suasana hati mereka semakin berat seiring waktu yang berlalu tanpa kabar dari Kian, dan firasat buruk itu semakin nyata.
Ucok langsung menghentikan motornya begitu melihat motor D 6969 KGS terparkir di depan sebuah warung kecil. Dia mengenali motor itu dengan jelas, itu milik Kian. Tapi, kelegaannya hanya sesaat karena dia tidak melihat tanda-tanda keberadaan Kian di sekitar situ. Warung itu tampak sepi, hanya ada beberapa anak muda yang sibuk bermain game di ponsel sambil menikmati kopi mereka, dan tidak ada wajah yang dikenal.
Ucok turun dari motornya dengan hati-hati, mencoba mengontrol detak jantungnya yang tiba-tiba terasa berdebar kencang. Dia melangkah mendekati motor Kian, memeriksa apakah ada sesuatu yang aneh atau tertinggal. Tapi motornya terlihat biasa saja, hanya terparkir begitu saja.
Tanpa membuang waktu, Ucok masuk ke dalam warung, berharap mendapatkan jawaban, "Bu, ada lihat teman awak gak? Naik kereta itu," tanyanya kepada ibu pemilik warung, jempolnya menunjuk ke motor Kian.
Ibu itu langsung terkejut, "Waduh Bang! Itu yang punya motor di bawa ke RS Immanuel sama suami saya dan warga setempat! Motornya kita simpen di warung!"Kemudian ibu itu menjelaskan kepada Ucok, bagaimana suaminya secara kebetulan menemukan Kian di lokasi kejadian, dan meminta bantuan para warga, karena KTP milik Kian beralamat di Tasikmalaya, mereka tidak tahu bagaimana cara menghubungi pihak keluarga. Setelah itu mereka membawa Kian ke rumah sakit Immanuel untuk mendapatkan perawatan, karena kondisi Kian masih belum sadarkan diri.
Mendengar itu, wajah Ucok langsung berubah. Campuran rasa khawatir dan panik menyelimuti pikirannya. Tanpa membuang waktu, dia segera merogoh ponsel dari saku dan menelepon Budi, suaranya tegang, "Bud, awak udah dapet info. Kian dibawa ke RS Immanuel. Katanya luka parah. Awak langsung pigi kesana sekarang!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Kosan Chronicles
Humor"Kosan Chronicles" adalah potret kehidupan para penghuni kosan di era modern. Novel ini mengikuti kisah sehari-hari sekelompok anak muda dengan latar belakang yang beragam, yang tinggal bersama di sebuah kosan minimalis di tengah kota. Namun, hidup...