Chapter 31 - Dont mess with me! (Part 3)

19 7 0
                                    



Pagi itu, Haris menyusuri jalanan kota Bandung dengan mobilnya, suasana masih sedikit berkabut, tanda sisa-sisa embun yang menempel di daun-daun pepohonan pinggir jalan. Lalu lintas mulai ramai, namun belum terlalu padat. Saat ini perasaannya sedang kesal, Bob dan Julianto belum datang ke rumahnya pagi ini, padahal hari ini dia akan segera mengeksekusi Andin. Sesuai rencana malam sebelumnya, mereka berdua harus segera siap di rumahnya ketika Haris membawa Andin pagi ini.

Di sebuah lampu merah, Haris meraih ponselnya. Ia segera menghubungi Bob, namun tidak ada jawaban dari Bob, kemudian dia mencoba menghubungi Julianto, hasilnya sama. Keduanya tidak menjawab panggilan dari Haris, lampu sudah beralih ke hijau, dia menaruh ponselnya dan melanjutkan perjalanannya menuju rumah Andin.

Sebelum sampai Muara Sari ponselnya bergetar, Haris melihat nama Herman di layar ponselnya, dia segera menepi sebentar, lalu menjawab panggilan tersebut.

"Halo, selamat pagi, Pak!" sapa Haris penuh semangat.

Suara Herman di ujung telepon terdengar santai, "Ris, saya sudah kirim beberapa orang ke Bandung buat bantuin kamu, mungkin mereka akan segera tiba disana."

Mendengar hal itu, wajah Haris berubah cerah. "Wah, terima kasih banyak, Pak. Saya sangat memerlukan bantuan mereka."

Herman tertawa kecil, "Haha, lanjutkan kinerja bagus kamu, Ris" setelah itu Herman segera menutup panggilannya.

Pagi itu terasa seperti permulaan yang biasa, tapi di dalam hati Haris, dia tahu hari ini tidak akan seperti biasanya. Ada banyak hal yang harus dikerjakan, termasuk rencananya sendiri yang perlahan-lahan mulai berjalan mulus.

Mobil Haris berhenti tepat di depan gerbang rumah Andin, dengan perlahan ia mematikan mesin dan menunggu. Pagi itu, suasana masih tenang di sekitar rumah Andin, hanya ada beberapa burung yang berkicau di kejauhan. Haris mengetukkan jarinya ke setir, menunggu Andin keluar dari pintu depan. Wajahnya tampak tidak sabar, dalam benaknya, ia terus memikirkan berbagai skenario yang mungkin terjadi hari ini.

Tak lama, pintu rumah terbuka dan Andin melangkah keluar. Langkahnya terlihat ragu-ragu, dan tatapannya sedikit gelisah, seolah sedang memikirkan sesuatu yang tidak beres. Ia tersenyum tipis kepada Haris, namun ada kecanggungan yang terlihat jelas dari sikapnya.

Ketika mendekati mobil, Andin menarik napas dalam-dalam, mencoba mengusir kegelisahan yang menghantuinya sejak semalam. Cerita dari Kian kemarin rupanya terngiang-ngiang di benaknya. Ia mencoba menghubungi Kian pagi ini, tapi tidak ada jawaban. Hal itu membuatnya terus memikirkan kemungkinan yang terjadi, tanpa ada kepastian.

Haris menurunkan kaca jendela, tersenyum lebar, berusaha menunjukkan keramahan. "Pagi, Din! Udah siap, kan?" sapanya dengan nada yang ceria.

Andin mengangguk pelan, sambil membalas senyumnya dengan senyum tipis yang dipaksakan. "Iya, siap kok," jawabnya singkat, lalu membuka pintu dan masuk ke dalam mobil.

Di dalam mobil, Haris menatap Andin sejenak sebelum mulai mengemudi. "Kamu kelihatan cape, semuanya baik-baik aja, kan?" tanyanya, mencoba mencari tahu suasana hati Andin.

Andin menggelengkan kepalanya, mencoba tersenyum lagi. "Mungkin cuma kurang tidur aja, Ris. Gak usah khawatir."

Mobil mulai melaju pelan meninggalkan rumah Andin, menyusuri jalanan Bandung yang masih dibalut sejuknya pagi. Di dalam hati, Andin berdoa semoga hari ini ia bisa segera mendapatkan jawaban dari semua keraguannya.

Aji mengendarai motornya dengan kecepatan stabil, melewati jalanan bandung yang masih sejuk di pagi hari. Kabut tipis yang tersisa dari Ciwidey masih terasa di sekitar kulitnya, dan pikirannya penuh dengan tekad yang membara. Sepanjang perjalanan, suara Sapto terus terngiang di telinganya, menyemangatinya agar tidak mundur lagi, agar ia segera mengungkapkan apa yang selama ini terpendam di hatinya.

Begitu Aji mendekati kawasan Muara Sari, matanya menangkap sebuah mobil yang familiar melaju di depannya. Itu mobil Haris. Jantung Aji berdegup kencang, namun tidak seperti biasanya, kali ini dia tidak merasa gentar. Dengan penuh keyakinan, ia tahu apa yang harus dilakukan. Haris bukan lagi hambatan, hanya batu kecil di jalan yang harus ia lewati.

Kosan ChroniclesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang