12.cita cita

84 13 0
                                    

Adel menyenderkan kepalanya pada jendela mobil taksi yang ia pesan, dengan tatapan mata yang kosong ke arah depan. Suara nyanyian supir sesekali memecahkan kesunyian di jalan malam ini.

"Mau ikut ke bioskop ga, Pak?" Tanya Adel tiba-tiba.

"Ya mau lah, Mas."

"Kalo gitu ayo, apa ada masalah?"

"Ada satu masalah, keadaan. Sekarang sudah lewat tengah malam, Mas." jawab supir itu sopan.

"Bapak pinter akting?"

"Nyanyi, Mas. Saat saya sudah mulai bernyanyi diatas panggung semua penonton bisa jadi gila."

"Jadi Bapak seorang bintang?" Adel bertanya dengan antusias.

"Bukan, Mas. Saya cuma supir taksi online. Di dalam saya adalah orang lain tapi jika di luar saya tidak berdaya."

Ucapan supir taksi itu membuat Adel kembali mengingat masa beberapa tahun yang Lalu saat Ayahnya memaksa untuk kuliah di jurusan teknik. Saat itu ia masih tinggal di Tokyo bersama keluarganya.

"Matematika, aku ga paham matematika, ga bisa mengingatnya " Ujar Adel yang masih berusia 19 tahun saat itu sedang menghadap sang ayah yang terkenal dengan ketegasannya, di ruangan kerja.

"Lanjutin." jawab sang Ayah.

"Aku engga pengen kuliah teknik, sebenernya itu bukan aku, Ayah. Aku lebih tertarik ke dunia seni."

"Saat kakek mu kesini pas masa perpecahan perang dunia dia juga dari nol, engga ada atap diatas kepalanya dan ada delapan anggota keluarga yang harus beliau kasih makan. Kalo saat itu dia bilang 'aku ga tertarik kerja di pabrik, itu bukan aku. Sebenernya aku pengen main suling,' akan kah keluarganya bertahan hidup?" Ayah menjelaskan dengan tenang tanpa merubah sedikit pun posisi duduknya.

"Apakah kamu akan punya kesempatan untuk bersekolah teknik? Setelah les selama dua tahun, kamu bahkan ga bisa lulus ujian PTN, kamu sia-siain waktu kamu dengan bersenang-senang dirumah dan berlibur kemanapun itu. Kamu diterima di universitas sekarang itu karna donasiku, kamu harusnya berterimakasih lalu bekerja lebih keras agar tidak malu. Tapi apa kesukaan mu? Duduk di bawah pohon mencoret-coret kertas tidak berguna itu, ingin jadi seniman? Pelukis terkenal? Apa rencana karirmu? bicaralah!" lanjut sang Ayah.

Momen itu masih terekam jelas di kepala Adel, hari dimana dia mulai menenggelamkan mimpi menjadi seniman begitu saja, karna sang Ayah yang menganggap jika seniman itu tidak ada jaminan. Dan mulai hari itu jika Adel yang baru terlahir, yaitu Adel yang kaku dan berusaha memenuhi ekspetasi sang ayah.

"Maaf, Ayah."

"Engga nak."

"Donasi itu--"

Ayah menggelengkan kepala pelan lalu memegang pundak Adel, "kamu menyadarinya saja itu sudah cukup. Aku bangga sama kamu, Putraku. Aku tau kamu pasti akan baik-baik saja disana. Semoga berhasil." Ayah memeluk Adel erat.

Adel kembali ke indonesia untuk berkuliah, dan mulai menetap dijakarta, lalu ia belajar seni di sebuah studio terkenal di kota besar itu tanpa sepengetahuan sang Ayah. Dia juga menghasilkan banyak uang karna membantu di studio itu dan juga karna seni yang berhasil di lahirkannya.

Ditahun pertama masih sulit untuknya beradaptasi dengan orang-orang sekitar dan juga pelajarannya yang terkadang membuat Adel kesal sampai stres. Walaupun jatuh bangun Adel tetap berusaha menyeimbangkan belajar dan sesekali menumpahkan emosinya di kanvas.

Lalu pada tahun ini tahun ke tiga ia berkuliah, rasanya menjadi lebih terbiasa bahkan ia menjadi asisten dosen sejak tahun kedua ia kuliah, dan sekarang Adel sudah mulai mengerjakan skripsi agar lulus lebih cepat dan bekerja sesuai keinginan sang Ayah.

Bersambung.

















⛆Its0nesky⛆

If You With Me (AdelxFeni) [end]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang