19. sakit

51 8 0
                                    

Feni berjalan terseok memasuki apartemen sambil terus mengusap matanya yang basah menggunakan punggung tangannya. Badannya pun nampak masih bergetar sambil sesekali sesenggukan.

Habis sudah. Adel benar-benar tidak ingin kembali padanya, sekarang Feni benar-benar menyesal karna bicara sembarangan saat itu, apalagi malam itu adalah malam yang Adel tunggu-tunggu karna memperingati hari kelahirannya.

Seharusnya Feni membicarakan hal yang menganggunya pelan-pelan dan tidak langsung menolak saat Adel memberikan cincin. Memikirkan semua itu semakin membuat hati Feni seakan robek karna rasa sakit penyesalan.

Menggunakan kedua tangannya Feni menutup mukanya rapat lalu menangis sejadi-jadinya bahkan berteriak karna sangat frustasi. Tak pernah terbayang dalam benaknya jika patah hati akan sesakit ini.

"Adel, aku harus gimana tanpa kamu?" Ujar Feni pelan ditengah isak tangisnya.

Keesokan paginya Feni terbangun, memeriksa handphone berharap Adel mengirimkan pesan namun nihil. Yang ada hanyalah pesan bertumpuk dari rekan dan atasannya.

Kepalanya terasa berat dan sakit, hidungnya bahkan tersumbat karna menangis semalaman. Feni menyentuh keningnya sendiri yang terasa sangat panas.  Lalu ia kembali membuka handphone mengirim pesan pada salah satu rekan kerjanya karna tidak bisa datang bekerja.

Setelah mengirim pesan Feni berusaha melanjutkan tidurnya. Ia memaksa matanya untuk terpejam walaupun bayang-bayang wajah Adel terus muncul bersamaan momen-momen kebahagian saat mereka berkencan baik saat di Jakarta ataupun saat mereka di Jepang menyembunyikan identitas masing-masing.

Apalagi Feni langsung mengetahui jika Adel sangat menyukai seni saat mereka sedang berada di salah satu toko oleh-oleh pulau Miyako. Mata Adel nampak berbinar-binar melihat satu persatu pahatan kecil yang berada di gantungan kunci yang terbuat dari kayu. Sejak saat itu Feni mulai berpendapat jika Adel mungkin mahasiswa jurusan seni, walaupun tebakannya meleset jauh.

Mata yang mengecil ketika senyumnya mengembang, serta pipi yang cukup berisi yang selalu Feni kecup ataupun cubit gemas dari seorang remaja laki-laki yang kehilangan jati dirinya. Seharusnya Feni membimbing remaja itu sampai menemukan apa yang diinginkannya bukan malah mencecar habis-habisan sampai membuat remaja itu down.

Penyesalan menumpuk di kepala dan hati Feni sehingga membuat badannya bertambah meriang. Dengan sisa tenaga Feni menghubungi seorang dokter untuk memeriksa keadaannya.

"Ini cuma demam karna kamu terlalu cape aja. Kamu butuh banyak-banyak istirahat dan stop overthinking. Dan juga lupain sejenak tentang hal-hal yang buat kamu kek gini." ujar sang Dokter.

Feni hanya mengangguk lemah sebagai jawaban.

"Ini bubur aku bawain dan juga obatnya diminum setelah makan. Aku ke dapur dulu, kalo ada apa-apa panggil langsung ya."

"Thanks, Shan."

Shani Dokter sekaligus teman akrabnya yang sangat tahu betul tentang seluk beluk yang membuat keadaan Feni sampai seperti sekarang. Shani tidak ingin banyak berkomentar sekarang, ia lebih memilih untuk fokus dengan kesehatan temannya itu.

Shani kembali masuk ke kamar Feni, sang empu kamar terlihat masih berusaha menyuapkan bubur ke mulutnya yang seperti menolak dan memuntahkan kembali. Perlahan Shani mendekati kasur yang berada di tengah ruangan yang berukuran luas itu.

"Sini aku suapin." Shani mengambil sendok yang masih Feni genggam lalu menyendokan dikit bubur ke mulut Feni.

"Pelan-pelan aja makannya."

Setelah empat kali suapan kepala Feni menggelang. "Udah, Shan. Kenyang."

"Yaudah, minum obat terus istirahat." Shani dengan telaten mengambil beberapa obat yang ia resepkan dan segelas minum.

Feni meminum obat itu cepat lalu merebahkan dirinya ke kasur tidur membelakangi Shani.

Shani hanya menggeleng pelan sambil membenahi selimut untuk menutupi tubuh Feni yang masih gemetar. Bukan karna kedinginan tapi lagi-lagi ia menangisi kisah cinta yang tak berakhir bahagia.

"Engga nyangka orang sehangat dan seceria kamu bisa sehancur ini karna patah hati." Ucap Shani lembut ditengah usapan di kepala Feni.

"Aku harus gimana, Shan?" Tanya Feni dengan suara yang nyaris tak terdengar.

"Sekarang kamu harus istirahat biar punya kekuatan untuk melangkah maju tanpa Adel. Udah ya nangisnya kamu pasti bisa kok." Shani merengkuhkan tubuhnya disamping Feni.

Bersambung.

dikit lagi tamat brokk.

⛆Its0nesky⛆

If You With Me (AdelxFeni) [end]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang