BAB 25: Rasa yang mulai tumbuh

38 34 4
                                    

( FOLLOW SEBELUM MEMBACA, JANGAN LUPA VOTE DAN KOMEN)   

TERIMA KASIH *HAPPY READING, SEMOGA KALIAN SUKA*

---

Kael memandang Althea dengan penuh cinta saat mereka berdua duduk di tepi danau di belakang istana. Pemandangan di sekitar mereka begitu indah, dengan sinar matahari sore yang berkilau di atas permukaan air. Dalam suasana romantis ini, Kael mengambil sebuah kotak kecil dari sakunya.

“Althea,” ia mulai, suara bergetar karena campuran antara kegugupan dan harapan. “Ada sesuatu yang ingin aku sampaikan.”

Althea menatapnya dengan penuh rasa ingin tahu. Dalam hatinya, ia merasakan detakan yang semakin cepat, tahu bahwa momen ini adalah sesuatu yang spesial. Kael membuka kotak itu, memperlihatkan cincin indah yang berkilau.

“Bersediakah kau menjadi istriku?” tanyanya, mengeluarkan kata-kata yang telah lama ia persiapkan.

Althea tertegun, air mata kebahagiaan menggenangi matanya. “Kael… ini… sangat indah,” ia terisak, terharu dengan tawaran yang tiba-tiba ini.

“Jawablah, Althea. Apakah kau bersedia?”

“Ya!” serunya, mengangguk mantap. “Aku bersedia!”

Kael dengan penuh kasih mengalungkan cincin itu di jari manis Althea, dan saat itu juga, dunia di sekitar mereka terasa sempurna. Mereka berpelukan mesra, Kael mencium pipi Althea dengan lembut sebelum keduanya saling menatap dalam-dalam.

Dalam momen yang penuh emosi itu, Althea merasakan kebahagiaan yang meluap-luap, dan tanpa sadar, ia mendekatkan wajahnya ke arah Kael. Mereka pun saling berciuman, awalnya lembut, namun segera berubah menjadi agresif. Ciuman mereka penuh gairah, seolah ingin mengungkapkan semua rasa cinta yang terpendam.

Hujan yang mulai turun di kejauhan menciptakan suara lembut, tetapi bagi mereka, itu hanyalah latar belakang dari momen yang tak terlupakan. Dalam pelukan yang erat, mereka merasakan cinta yang tak terpisahkan, saling berbagi janji untuk masa depan bersama.

---

Di sisi lain Eldoria, Freya dan Lucian terus membantu rakyat yang terkena dampak banjir. Mereka sudah mengunjungi beberapa desa dan memberikan bantuan.

Setelah memastikan semua bantuan tersampaikan dengan baik dan rakyat di desa-desa aman, Freya dan Lucian akhirnya memutuskan untuk kembali ke istana. Perjalanan pulang mereka melewati jalan setapak yang panjang, ditemani oleh pepohonan hutan yang mulai gelap. Matahari mulai tenggelam, memberikan kilau jingga yang samar di balik awan. Keheningan di antara mereka tidak terasa canggung, namun dipenuhi oleh pikiran masing-masing yang tak berhenti berkecamuk.

Freya duduk tegap di atas kudanya, menatap pemandangan di sekeliling mereka. Tapi pikirannya melayang ke kejadian sebelumnya. Saat Lucian menangkapnya dengan sigap ketika ia hampir terjatuh, tatapan mata mereka bertemu—ada sesuatu yang berbeda. Sesuatu yang tak bisa ia abaikan. Freya merasakan detak jantungnya meningkat setiap kali mengingat momen itu, dan kini ia tak bisa berhenti memikirkannya.

Lucian, yang menunggangi kuda di sebelahnya, diam-diam juga memikirkan hal yang sama. Ia masih bisa merasakan kelembutan tubuh Freya saat ia menangkapnya, dan tatapan mereka yang bertaut sejenak meninggalkan kesan yang mendalam. Lucian tidak pernah membayangkan bahwa momen sederhana seperti itu bisa mempengaruhi perasaannya sedalam ini. Sejak saat itu, ia tidak bisa menyingkirkan perasaan aneh yang mulai tumbuh di dalam hatinya.

Mereka terus berkendara dalam hening, hanya terdengar derap kaki kuda yang berpacu dengan tenang di jalanan yang licin karena hujan yang mulai turun. Hujan rintik-rintik semakin lama semakin deras, mengguyur mereka dan mempercepat langkah kuda menuju istana. Meski basah kuyup, mereka tetap fokus pada jalan di depan, meskipun dalam hati mereka masing-masing dilanda kebingungan atas apa yang sebenarnya terjadi di antara mereka.

Setibanya di gerbang istana, para pengawal langsung menyambut mereka dengan sigap. Hujan kini turun semakin deras, menambah suasana dingin yang menyelimuti. Namun, di antara dinginnya cuaca, Freya dan Lucian saling mencuri pandang. Ada ketegangan yang tak terlihat, tapi mereka berdua tahu bahwa momen yang telah terjadi di desa tak bisa diabaikan begitu saja.

Setelah turun dari kuda, Freya berdiri sejenak di bawah naungan gerbang, menatap hujan yang semakin deras. Udara segar berembus, membawa aroma tanah basah. Ia tahu bahwa ia harus mengatakan sesuatu, tapi kata-kata terasa sulit keluar. Akhirnya, ia memberanikan diri untuk memecah keheningan.

“Lucian,” Freya memulai pelan, suaranya hampir tenggelam oleh suara hujan. Lucian yang sedang melepas pelana kudanya menoleh dengan cepat, matanya langsung menatap Freya penuh perhatian. "Terima kasih untuk hari ini. Aku senang bisa bekerja sama denganmu."

Lucian menatap Freya sejenak sebelum tersenyum tipis, meskipun hujan mengguyur wajahnya. "Aku juga, Freya. Kerja tim kita sangat bagus hari ini. Kau luar biasa."

Meski mereka mencoba berbicara seperti biasa, keduanya sadar bahwa ada sesuatu yang berbeda. Ketegangan dari momen sebelumnya—ketika mereka hampir bersentuhan—masih menggantung di udara. Freya bisa merasakan pipinya memerah, dan ia berusaha menyembunyikannya dengan menunduk. Lucian pun merasakan hal yang sama, namun ia memilih untuk menahan diri, tak ingin memperkeruh situasi dengan membahasnya lebih lanjut.

Setelah beberapa saat berbincang ringan, mereka berpisah menuju kamar masing-masing. Freya melangkah pelan, perasaan bergejolak dalam hatinya. Ia mencoba merenung sambil mendengarkan gemuruh hujan di luar, namun perasaannya terhadap Lucian membuatnya sulit untuk fokus. Ada sesuatu di antara mereka yang belum terselesaikan, dan Freya tak tahu bagaimana harus menghadapinya.

---

Di kamar Lucian, suasana serupa terjadi. Lucian duduk di tepi tempat tidurnya, mendengarkan suara hujan yang menghantam jendela. Pikirannya masih terpusat pada Freya—pada momen kecil ketika ia menangkapnya, dan bagaimana tatapan mata mereka bertemu. Sejak saat itu, ia merasakan perasaan aneh yang terus berkembang dalam dirinya. Ia tahu bahwa tanggung jawabnya di istana adalah yang utama, namun perasaan ini semakin sulit untuk diabaikan.

Malam itu, istana terasa lebih hangat meskipun hujan deras mengguyur tanpa henti. Di kamar mereka masing-masing, Freya dan Lucian sama-sama memikirkan hal yang sama—apa yang sebenarnya terjadi di antara mereka? Perasaan yang mereka rasakan semakin nyata, meski tak ada yang berani mengakuinya. Perjalanan di Eldoria masih panjang, dan hubungan mereka pasti akan terus berkembang. Tapi untuk saat ini, keduanya hanya bisa berharap bahwa waktu akan memberi mereka jawaban.

Di bawah hujan yang tak henti-hentinya mengguyur, Freya dan Lucian menyadari satu hal—bahwa perasaan mereka tidak akan pernah sama lagi. Mereka mungkin belum siap untuk menghadapinya secara langsung, tetapi momen kecil ini telah mengubah segalanya. Dan seiring berjalannya waktu, mereka tahu bahwa hubungan mereka akan semakin mendalam.

Eldoria: Kekuatan, Cinta, dan Intrik (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang