Malam itu, kabut tebal menyelimuti istana. Udara dingin terasa menusuk, meskipun masih awal musim semi. Ireshi melangkah perlahan melewati lorong-lorong panjang yang remang. Langkahnya terhenti di sebuah pintu besar yang tak asing lagi baginya—ruang takhta, tempat di mana keputusan besar selalu dibuat.
Saat dia mendekat, pintu perlahan terbuka tanpa suara. Di dalam, sudah ada beberapa orang yang menunggunya. Cassius berdiri tegak di depan jendela besar, menatap keluar dengan ekspresi penuh pertimbangan. Sebastian duduk dengan tenang di samping meja besar, memeriksa dokumen-dokumen keuangan tanpa ekspresi. Di sudut ruangan, Cécillia tampak sedang berbicara pelan dengan seorang prajurit yang terluka.
"Ireshi," Cassius akhirnya bicara tanpa menoleh. "Kami harus membuat keputusan malam ini. Mengenai langkah selanjutnya."
Ireshi berjalan masuk dengan tenang, menyadari bahwa pertemuan ini jauh lebih penting dari sekadar urusan sehari-hari. Intrik politik yang ia coba hindari semakin mendesaknya masuk ke dalam permainan.
"Kau sudah mendengar berita tentang desa di perbatasan?" tanya Sebastian, tatapannya dingin saat menatap Ireshi. "Para pemberontak mulai bergerak."
Ireshi mengangguk pelan. "Ya, aku dengar. Tapi mereka bergerak karena merasa ditindas. Kita tidak bisa hanya menanggapinya dengan kekerasan."
"Kau terlalu idealis, Ireshi," Cassius menoleh, dengan tatapan tajam. "Dunia ini tidak sesederhana itu. Kadang-kadang, kekuatan adalah satu-satunya bahasa yang dipahami."
Namun, sebelum Ireshi sempat membalas, Cécillia yang sejak tadi diam mendekati mereka, dengan lembut menengahi. "Kita tidak bisa mengabaikan alasan di balik pemberontakan ini. Rakyat menderita. Jika kita hanya merespons dengan kekerasan, itu akan memperparah situasi."
Ireshi mengangguk setuju. "Aku sepakat dengan Cécillia. Kita butuh pendekatan yang lebih halus. Jika kita bisa berbicara dengan para pemimpin mereka, mungkin kita bisa mencapai kompromi."
Sebastian menatapnya skeptis, sementara Cassius tersenyum tipis, sinis. "Dan apa jaminan mereka tidak akan menyerang saat kita lengah?"
"Karena kita akan menunjukkan bahwa kita mendengarkan mereka," jawab Ireshi cepat. "Ini bukan tentang kekuatan, tapi tentang menciptakan kedamaian."
Untuk sesaat, ruangan itu hening. Semua orang berpikir, merenungkan situasi yang rumit ini. Sebastian menghela napas panjang, meletakkan dokumen yang ia periksa. "Baiklah. Tapi jika negosiasi ini gagal, aku tidak akan segan untuk mengambil tindakan tegas."
Cassius menatap Ireshi dalam-dalam, seolah mencari sesuatu di balik keberaniannya. "Baik, kau punya kesempatan. Tapi ingat, jika kau salah langkah, tidak hanya hidupmu yang dipertaruhkan. Seluruh kerajaan."
Malam itu, setelah diskusi panjang dan keputusan yang diambil, Ireshi meninggalkan ruang takhta dengan hati yang berat. Dia tahu jalan yang dia pilih penuh risiko. Tapi inilah kesempatan untuk membuktikan bahwa dia lebih dari sekadar villainess dalam cerita ini.
Ketika Ireshi melangkah ke luar, kabut tebal masih menyelimuti istana, membuat semuanya terasa samar. Langkahnya mantap, meski hatinya terus bergolak. Kini, dia tahu bahwa setiap keputusan yang dia buat membawa konsekuensi besar.
Dan permainan catur ini baru saja dimulai.
_____To Be Continued...
KAMU SEDANG MEMBACA
Blue Feather [Ongoing]
FantasyHalooow! Jangan lupa dukung Author terus ya! Inst Author: @pirdmirza_ Inst Karya: @pearzcwrite_ Terima kasih! Selamat membaca semua (ㆁωㆁ) ____________________________________________________ Seorang wanita modern yang tangguh dan cerdas, tiba-ti...