{S1} Episode 16: Ketika Keheningan Bicara

11 11 0
                                    

Malam berlalu dengan cepat, dan cahaya pagi mulai menyinari benteng. Ireshi bangun lebih awal dari biasanya, merasa sedikit lebih segar setelah malam yang penuh renungan. Pikirannya terus kembali pada perbincangan dengan Cassius dan Tristan. Meski tampaknya sederhana, ada sesuatu yang mengganggu Ireshi-sebuah perasaan bahwa badai besar akan datang.

Dia mengenakan jubah tipis dan keluar dari tenda, menyapa udara pagi yang sejuk. Ketika dia berjalan melewati perkemahan, dia melihat aktivitas yang sibuk di sekitar benteng. Pasukan bersiap, persenjataan diperiksa, dan suasana penuh kewaspadaan masih terasa, meski untuk saat ini pertempuran tampaknya tertunda.

Namun, Ireshi tahu, setiap kali pertempuran ditunda, intrik di balik layar justru semakin memanas. Dia telah belajar bahwa politik jauh lebih berbahaya daripada medan perang.

"Putri." Suara dingin yang familiar terdengar dari belakangnya. Sebastian dé Ravenhall berdiri dengan postur tegap, wajah tanpa emosi seperti biasanya. "Ada yang perlu kita bicarakan."

Ireshi berbalik menghadap Sebastian. "Apa yang terjadi?"

Sebastian mengeluarkan sebuah surat dari balik jubahnya. "Kau harus melihat ini. Ini datang langsung dari istana."

Ireshi menerima surat itu, segera mengenali lambang kerajaan. Setelah membukanya, matanya membaca cepat isi surat tersebut. Surat itu berasal dari Dewan Kerajaan, mengabarkan bahwa ada pihak-pihak tertentu yang mempertanyakan keputusannya saat negosiasi gencatan senjata. Terdapat kekhawatiran bahwa Ireshi mungkin bertindak terlalu lunak terhadap musuh.

"Lunak?" Ireshi mengulang kata itu, suaranya rendah, sedikit bergetar karena marah yang ia coba tahan. "Mereka tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi di medan perang."

Sebastian tetap tenang, tatapannya tidak berubah. "Para bangsawan di istana jarang peduli pada kenyataan. Mereka hanya peduli pada bagaimana tindakanmu mempengaruhi posisi mereka."

Ireshi meremas surat itu dengan satu tangan. "Lalu apa yang mereka inginkan? Apa aku harus memulai perang lagi hanya untuk membuktikan aku tidak lemah?"

"Ini adalah permainan mereka," Sebastian berkata tanpa basa-basi. "Mereka ingin menjatuhkanmu, menggunakan setiap kesalahan yang kau buat sebagai alasan. Jangan memberi mereka kesempatan."

Ireshi menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri. "Jadi, apa langkah selanjutnya?"

Sebastian menatapnya dalam-dalam. "Kau harus lebih berhati-hati dalam bergerak. Musuhmu bukan hanya mereka yang kau hadapi di medan perang. Musuh yang lebih berbahaya ada di dalam istana."

Ireshi mengangguk. Dia sudah tahu ini, tapi mendengarnya dari mulut Sebastian hanya memperkuat tekadnya. "Baiklah. Kalau begitu, kita akan bermain sesuai aturan mereka."

Namun, sebelum percakapan mereka bisa dilanjutkan, Tristan tiba-tiba muncul dari balik bayangan. Dengan sikap santai yang bertolak belakang dengan atmosfer tegang di sekitar mereka, dia menyela, "Hei, kalian berdua terlalu serius pagi-pagi begini. Apa aku ketinggalan sesuatu?"

Sebastian mendesah, menoleh ke Tristan dengan sedikit frustrasi. "Ini bukan waktunya untuk lelucon, Tristan."

Tristan tersenyum lebar, tidak terpengaruh. "Aku tidak bercanda. Aku hanya merasa ada sesuatu yang bisa kita lakukan selain berkutat dalam kecemasan politik."

Ireshi tersenyum tipis. "Dan apa itu?"

Tristan mengedipkan mata. "Kita mengalahkan mereka dengan cara kita sendiri, tentunya."

Sebastian mengerutkan alis. "Apa maksudmu?"

"Kau tahu," Tristan menjelaskan sambil mengangkat bahu. "Orang-orang yang mencoba menjatuhkan kita selalu berpikir mereka lebih pintar. Tapi kadang, hal terbaik yang bisa kita lakukan adalah bergerak di luar ekspektasi mereka. Kita mainkan permainan ini dengan cara yang tidak pernah mereka duga."

Ireshi menatap Tristan dengan penuh minat. "Kau punya ide?"

Tristan tertawa kecil. "Aku selalu punya ide. Kita hanya butuh waktu untuk menyusunnya dengan sempurna."

Sebastian mendengus, namun ada secercah ketertarikan di matanya. "Kau selalu punya cara untuk membuat segalanya tampak lebih mudah daripada yang sebenarnya."

Tristan mengangkat tangannya, menunjukkan sikap menyerah. "Itu hanya bakat alami."

Ireshi tertawa kecil. Di antara semua tekanan yang ada, dia merasa sedikit lebih ringan. Mungkin benar, kadang-kadang, pendekatan yang tidak biasa adalah jawabannya.

"Baiklah," Ireshi berkata akhirnya. "Kita akan bermain dengan cara kita sendiri. Tapi kita harus berhati-hati. Setiap langkah yang kita ambil akan diawasi."

Tristan memberi hormat setengah bercanda. "Di sanalah letak keseruannya."

Sebastian, meski tidak sepenuhnya setuju, tampaknya setuju untuk sementara waktu. "Selama kau tidak ceroboh."

"Percayalah padaku," jawab Tristan, matanya berbinar dengan semangat. "Aku selalu punya cara untuk menang."

Dengan demikian, malam itu Ireshi, Cassius, Tristan, dan Sebastian sepakat bahwa permainan yang mereka hadapi jauh dari selesai. Dan sekarang, dengan rencana baru di balik pikiran mereka, mereka siap menghadapi apa pun yang akan datang.
_____

To Be Continued...

Blue Feather [Ongoing]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang