Malam itu, setelah hari yang panjang dan melelahkan, Ireshi berusaha untuk tertidur. Namun, saat matanya terpejam, ketenangan yang diharapkannya segera tergantikan oleh kegelapan yang menakutkan. Mimpi buruk datang seperti badai, menyapu semua kedamaian yang sempat ia rasakan.
Dalam mimpinya, Ireshi mendapati dirinya berdiri di tengah aula istana yang luas, namun suasananya sangat berbeda. Dinding-dinding yang biasanya megah tampak retak dan usang, dan bayangan gelap meliputi setiap sudut ruangan. Suara bisikan tidak jelas bergaung di sekelilingnya, menambah suasana mencekam.
Dia melihat sosok-sosok familiar: Kaisar dan Permaisuri berdiri di hadapannya, tetapi wajah mereka tidak terlihat. Hanya ada kegelapan yang menyelimuti mereka, dan mata mereka tampak tajam dan menilai. Ireshi berusaha mendekat, tetapi setiap langkah terasa berat, seolah-olah ada kekuatan yang menahannya.
“Putri,” suara Permaisuri yang dingin dan penuh penilaian memecah keheningan. “Kau tidak layak berada di sini.”
Ireshi merasakan jantungnya berdegup kencang. “Tapi aku—” ia berusaha menjelaskan, namun suara yang keluar dari mulutnya terasa tercekat. Tak ada kata yang mampu menembus ketakutannya.
Tiba-tiba, bayangan lain muncul: Cassius dengan tatapan dingin, Sebastian yang terkesan kecewa, dan Tristan yang terlihat bingung. Mereka semua seolah mengabaikannya, menatap ke arah yang lain, seolah Ireshi tidak ada di sana. Mimpi ini semakin menakutkan ketika Ireshi merasakan sekelilingnya bergetar. Dinding-dinding aula mulai runtuh, dan semua orang berlarian, meninggalkan dirinya sendirian di tengah kegelapan.
Dia berteriak, tetapi suaranya tidak terdengar. Ireshi merasa terperangkap dalam mimpi ini, terjebak dalam rasa malu dan ketakutan. Dalam kekacauan itu, wajah Permaisuri muncul kembali, kali ini lebih dekat, tatapannya penuh kebencian.
“Jika kau tidak bisa mengubah nasibmu, maka nasibmu sudah ditentukan. Pergi dari sini!” kata Permaisuri, suaranya tajam seperti belati.
Ireshi merasa tubuhnya melorot ke tanah, berusaha meraih cahaya yang samar di kejauhan. “Tolong!” teriaknya, tetapi tidak ada jawaban.
Saat semua harapan tampak hilang, Ireshi merasakan kehadiran lain, sosok yang hangat dan penuh kasih. Dia melihat bayangan Tristan mendekatinya, tetapi saat dia mengulurkan tangan, sosok itu menghilang, seolah-olah tidak pernah ada. Kegelapan kembali menyelimutinya, dan ia terjebak dalam ketidakberdayaan.
Akhirnya, terbangun dengan napas tersengal-sengal, Ireshi duduk di ranjangnya, dikelilingi keheningan malam. Keringat dingin membasahi pelipisnya, dan jantungnya berdegup kencang. Perasaan terasing dan ketidakpastian masih menghantuinya, meskipun ia tahu itu hanya mimpi.
“Ini tidak akan terjadi,” Ireshi berbisik pada dirinya sendiri, mencoba meredakan kepanikan yang menguasainya. “Aku tidak akan membiarkan diriku dikalahkan oleh ketakutan.”
Meskipun kegelapan yang menyelimuti mimpinya terasa nyata, Ireshi tahu bahwa dia memiliki kekuatan untuk menghadapi setiap tantangan yang ada di hadapannya. Kembali bersandar di ranjang, ia bertekad untuk bangkit dan berjuang, meski bayangan ketakutan terus menghantui pikirannya.
_____To Be Continued...
KAMU SEDANG MEMBACA
Blue Feather [Ongoing]
FantasiHalooow! Jangan lupa dukung Author terus ya! Inst Author: @pirdmirza_ Inst Karya: @pearzcwrite_ Terima kasih! Selamat membaca semua (ㆁωㆁ) ____________________________________________________ Seorang wanita modern yang tangguh dan cerdas, tiba-ti...