Malam itu, di bawah cahaya bulan, Ireshi, Cassius, Tristan, dan Sebastian berangkat menuju perbatasan barat. Suasana di antara mereka tegang, meskipun Tristan tampak tetap santai seperti biasa, menikmati perjalanan dengan senyum kecil di wajahnya. Sebaliknya, Cassius terfokus penuh pada rencana di kepalanya, sementara Sebastian lebih banyak diam, wajahnya serius meneliti peta yang terhampar di depannya.
Ireshi duduk di atas kudanya, pikirannya bergolak antara rasa takut dan harapan. Ini adalah pertama kalinya dia terjun langsung ke medan perang, dan meskipun dia bukan seorang prajurit, tanggung jawab negosiasi yang diberikan padanya sangatlah besar.
Selama perjalanan, mereka tidak banyak berbicara. Hanya suara langkah kuda dan desiran angin malam yang menemani. Namun, di sela-sela keheningan, Ireshi bisa merasakan kehadiran Cassius yang sesekali melirik ke arahnya. Entah kenapa, tatapannya kali ini terasa berbeda-seolah-olah dia bukan hanya melihatnya sebagai sekutu politik, tapi juga seseorang yang sedang dia amati dengan penuh minat.
"Kenapa kau terus melirikku seperti itu?" tanya Ireshi akhirnya, suaranya memecah kesunyian.
Cassius terdiam sejenak sebelum menjawab. "Aku hanya ingin memastikan kau siap."
"Aku selalu siap," jawab Ireshi tegas, meskipun di dalam hatinya, dia merasa gugup.
Cassius menatapnya sejenak, lalu mengangguk. "Kita lihat saja nanti."
Percakapan singkat itu membuat Ireshi semakin sadar bahwa ada banyak hal yang dipertaruhkan. Tapi dia tahu bahwa inilah jalannya untuk membuktikan dirinya-bukan hanya sebagai putri dari keluarga bangsawan, tapi sebagai seseorang yang bisa mengubah takdirnya.
Tristan, yang sedari tadi hanya mengamati, tiba-tiba bersenandung kecil, mencoba meringankan suasana. "Kalian berdua benar-benar penuh ketegangan. Mungkin setelah ini, kita bisa mengadakan pesta kecil untuk merayakan kemenangan."
"Tristan, fokuslah," sela Sebastian dingin. "Ini bukan waktunya untuk bercanda."
Tristan tertawa kecil, mengangkat bahu. "Hei, aku hanya mencoba membuat kita tetap waras."
Ireshi tersenyum tipis mendengar kelakar Tristan. Meski sering kali tak serius, dia selalu bisa mengubah suasana menjadi lebih ringan, dan itu adalah hal yang Ireshi butuhkan sekarang.
Setelah perjalanan panjang, akhirnya mereka tiba di wilayah perbatasan. Benteng kerajaan yang kokoh berdiri megah di depan mereka, namun terlihat tanda-tanda kerusakan akibat serangan pemberontak. Asap tipis masih mengepul dari beberapa titik, dan suasana tegang menyelimuti seluruh area.
Begitu mereka tiba, Cassius langsung memimpin untuk mengatur bala bantuan. Dia dengan cepat menginstruksikan para komandan pasukan dan memastikan setiap prajurit siap menghadapi apa yang akan terjadi. Sementara itu, Ireshi dibawa ke ruang negosiasi, di mana para pemberontak sudah menunggu.
Saat Ireshi memasuki ruangan itu, tatapan penuh curiga langsung dilemparkan padanya. Para pemimpin pemberontak duduk di seberang meja, dengan wajah keras dan tegas. Mereka adalah orang-orang yang tidak mudah diyakinkan.
Ireshi menarik napas dalam-dalam, mencoba mengendalikan kegugupannya. Dia tahu ini adalah momen krusial-satu langkah salah, dan semuanya bisa berakhir buruk. Tapi dia juga tahu bahwa jika dia berhasil, ini akan menjadi titik balik dalam usahanya mengubah takdirnya sebagai villainess.
"Selamat malam," Ireshi memulai dengan suara tenang, meskipun di dalam hatinya ada gemuruh kecemasan. "Aku datang bukan untuk bertarung, tapi untuk menemukan solusi yang menguntungkan bagi kita semua."
Salah satu pemimpin pemberontak, seorang pria berotot dengan wajah kasar, menatapnya tajam. "Kenapa kami harus percaya padamu, Putri? Kau bagian dari kerajaan yang menindas kami."
Ireshi tetap tenang, meskipun komentar itu sedikit menusuk hatinya. "Karena aku ingin perubahan. Aku tidak ingin konflik ini terus berlanjut. Jika kita bisa menemukan kesepakatan, aku yakin ada jalan untuk perdamaian."
Namun, sebelum negosiasi bisa berlanjut, terdengar suara ledakan keras di luar. Semua orang di ruangan itu terkejut dan segera berdiri. Salah satu pengawal berlari masuk dengan wajah panik.
"Pemberontak lainnya menyerang benteng! Mereka menembus pertahanan kita!"
Cassius dan Tristan langsung bergerak keluar, sementara Ireshi berdiri diam sejenak, mencoba memproses apa yang baru saja terjadi. Dia harus bertindak cepat-baik di dalam maupun di luar ruangan, nyawa dipertaruhkan.
"Kita tidak punya banyak waktu," kata Ireshi cepat, menatap pemimpin pemberontak. "Jika kita tidak bekerja sama, kita semua akan hancur. Apakah itu yang kalian inginkan?"
Pria berotot itu menatapnya dengan penuh pertimbangan. Ada keraguan di matanya, tetapi Ireshi bisa merasakan bahwa dia mulai goyah.
"Apa yang kau tawarkan?" tanya pria itu akhirnya.
"Aku menawarkan kehidupan. Kerajaan siap untuk negosiasi, dan aku akan memastikan suara kalian didengar. Tapi kalian harus menghentikan serangan ini sekarang."
Detik-detik berlalu dengan tegang, hingga akhirnya pemimpin pemberontak itu mengangguk perlahan. "Baiklah. Kami akan menarik pasukan, tapi kau harus memastikan janji itu ditepati."
Ireshi mengangguk. "Aku berjanji."
Di luar, pertempuran semakin memanas, tetapi dengan cepat, tanda-tanda gencatan senjata mulai terlihat. Ireshi keluar dari ruang negosiasi dengan perasaan lega. Dia berhasil-setidaknya untuk sementara waktu.
Cassius, yang baru saja kembali dari medan perang, menatap Ireshi dengan tatapan campuran antara kekaguman dan kewaspadaan. "Kau berhasil," katanya singkat.
Ireshi hanya tersenyum tipis. "Ini baru permulaan."
Tapi jauh di dalam hatinya, dia tahu bahwa perjuangannya masih panjang. Negosiasi ini hanya langkah pertama dari banyak tantangan yang akan datang.
_____To Be Continued...
KAMU SEDANG MEMBACA
Blue Feather [Ongoing]
FantasyHalooow! Jangan lupa dukung Author terus ya! Inst Author: @pirdmirza_ Inst Karya: @pearzcwrite_ Terima kasih! Selamat membaca semua (ㆁωㆁ) ____________________________________________________ Seorang wanita modern yang tangguh dan cerdas, tiba-ti...