Setelah gencatan senjata diumumkan, suasana di benteng sedikit mereda, namun ketegangan masih menggantung di udara. Ireshi merasa lega setelah negosiasi, tapi dia tahu ini bukan akhir dari konflik. Saat ini, benteng hanya bisa menikmati kedamaian sementara, dan pertarungan diplomatik baru akan segera dimulai.
Cassius, yang telah mengurus urusan militer dengan cekatan, kembali ke tenda utama, di mana Ireshi duduk sendirian, menikmati sejenak ketenangan. Dia menatapnya dengan pandangan penuh evaluasi, seperti mencoba membaca apa yang ada di balik ketenangan Ireshi.
"Kau membuat keputusan yang berani," kata Cassius, suaranya tenang namun penuh arti.
Ireshi menoleh, menyadari tatapan Cassius yang menembus. "Kadang, keberanian adalah satu-satunya pilihan yang tersisa."
Cassius mengangguk sedikit. "Keberanian memang penting. Tapi keberanian tanpa rencana bisa menghancurkan."
Ireshi berdiri, mendekat ke jendela tenda yang terbuka, menatap ke arah perkemahan. "Aku tahu. Tapi aku bukan orang yang bertarung di garis depan sepertimu, Cassius. Ini satu-satunya medan yang bisa kuperangi."
Cassius mendekat, berdiri di sampingnya. "Kau mungkin tidak menyadarinya, tapi keputusanmu tadi membuat perbedaan. Banyak yang menganggap negosiasi itu sia-sia. Tapi kau berhasil membuktikan sebaliknya."
Ireshi menatapnya, sedikit terkejut dengan pengakuan itu. Cassius jarang memberikan pujian, terutama yang bersifat tulus. Tapi sebelum dia bisa merespons, suara langkah mendekat dari luar.
Tristan muncul di pintu tenda, wajahnya cerah seperti biasa, meski ada noda kotoran di pipinya akibat dari pertempuran tadi. "Kalian berdua, jangan terlalu serius. Perang ini mungkin belum usai, tapi kita butuh jeda untuk menyegarkan pikiran."
Cassius mendengus kecil, tapi senyum kecil tersungging di sudut bibirnya. "Kau selalu punya cara untuk mencairkan suasana, Tristan."
Ireshi tersenyum. "Dia benar. Kita butuh istirahat, meskipun sejenak."
Tristan melangkah masuk, langsung mengambil tempat di kursi terdekat. "Tepat sekali. Lagipula, benteng ini tidak akan jatuh malam ini. Kita masih punya waktu untuk menikmati bintang-bintang."
Ireshi tertawa kecil. "Kau memang selalu bisa menemukan hal-hal positif dalam situasi terburuk."
Tristan mengedipkan mata. "Hidup terlalu singkat untuk hanya fokus pada yang buruk."
Cassius menatap mereka berdua dan menghela napas. "Baiklah, jika kalian bersikeras. Tapi ingat, besok kita masih punya pertempuran politik yang harus diselesaikan."
Mereka bertiga akhirnya keluar dari tenda, berjalan menuju sebuah bukit kecil di tepi benteng yang memberikan pemandangan langit malam yang penuh bintang. Cahaya bulan menyelimuti mereka dalam kesunyian yang damai, dan untuk sesaat, semua ketegangan seakan menghilang.
Tristan berbaring di rumput, menatap bintang-bintang di atas. "Kurasa, jika semua ini selesai, aku ingin melakukan perjalanan jauh. Ke tempat di mana tidak ada perang, tidak ada politik. Hanya kebebasan."
Ireshi menatap Tristan. "Kau selalu berbicara tentang kebebasan. Seolah-olah itu satu-satunya yang kau inginkan."
Tristan mengangguk pelan. "Karena itu yang paling sulit ditemukan, Ireshi. Semua orang terikat oleh sesuatu, tapi aku ingin lepas dari semua itu."
Cassius hanya mendengarkan tanpa banyak berkata-kata, tetapi ada kilatan pemahaman di matanya. Ireshi, di sisi lain, merenung. Mungkin Tristan benar. Mungkin kebebasan adalah hal yang paling sulit didapatkan, terutama dalam dunia yang dipenuhi dengan intrik, kekuasaan, dan perang.
Malam itu, di bawah langit yang indah, mereka bertiga duduk dalam keheningan. Namun di balik ketenangan itu, masing-masing dari mereka tahu bahwa tantangan besar masih menunggu di depan.
_____To Be Continued...
KAMU SEDANG MEMBACA
Blue Feather [Ongoing]
FantasíaHalooow! Jangan lupa dukung Author terus ya! Inst Author: @pirdmirza_ Inst Karya: @pearzcwrite_ Terima kasih! Selamat membaca semua (ㆁωㆁ) ____________________________________________________ Seorang wanita modern yang tangguh dan cerdas, tiba-ti...