Bagian Kelima

24 3 0
                                    

Awal hari di kerajaan Alterion kala itu terlihat mendung, awan menggelap dengan petir yang beberapa kali menyambar ringan menandakan bahwa sebentar lagi hujan akan turun mengguyur bumi serta sebagai pertanda pergantiannya musim kemarau menuju musim hujan.

Dalam sebuah kamar, tepatnya di kediaman sang tuan putri, ia terlihat sedang menatap pantulan dirinya di cermin meja rias setelah beberapa dayang membantunya bersiap.

Bukan tanpa alasan ia duduk kemudian merenung disana, kelakuannya yang sering dilakukannya  tersebut tanpa sadar telah menjadi kebiasaan. Menghela nafas beberapa kali sebab memikirkan banyak hal, kemudian menatap tajam pada dirinya sendiri seraya berkata.

"Untuk apa kau sibuk memikirkan semua hal? Mereka dan bahkan dunia ini saja belum tentu memikirkan mu!."

Tuan putri kerajaan Alterion itu bangkit dari duduknya, berjalan dengan anggun keluar dari kediaman menuju ruang makan utama kerajaan. Adat istiadat yang sudah sejak dahulu kala dilakukan, makan bersama dengan para anggota keluarga kerajaan lainnya.

Queenala Aurora De Alterion atau yang biasa disapa dengan putri Rora itu melangkahkan kakinya bersama kedua dayangnya yang berjalan dibelakang. Pandangannya lurus ke depan dan begitu memperhatikan jalan, sehingga siapapun yang melihat bisa merasakan bahwa ia adalah penguasa muda yang layak dihormati.

Sedangkan kedua dayang yang berada dibelakangnya bersikap penuh dengan rasa segan, menundukkan kepala selama perjalanan dengan telapak tangan yang saling bertumpukan dan diletakkan diarea perut.

Siapa saja yang berpapasan dengan Rora, akan dengan sendirinya memberi penghormatan. Bukannya haus akan kekuasaan, hanya saja tata krama yang diajarkan sejak dahulu memanglah demikian.

Begitu tiba didepan pintu ruang makan, para penjaga dengan sigap membukakan pintu dan mempersilahkan tuan putri sah kerajaan Alterion itu masuk, dan bisa terlihat, jika di meja panjang dengan puluhan kursi yang berjejer rapih itu sudah terisi hingga hampir penuh dengan anggota keluarga kerajaan.

Beberapa pasang mata memandang secara diam-diam dengan tatapan penuh kesinisan kearah Rora, seakan ialah sebab utama acara makan pagi tersebut tertunda, bahkan mungkin saja banyak alasan lain yang menjadi penyebab tatapan tidak mengenakkan tersebut tertuju padanya.

Sang putri tanpa rasa bersalah berjalan kearah kursinya, tanpa ingin peduli dengan segala sesuatu yang sudah sering kali terjadi jika acara makan berlangsung.

"Bukankah seharusnya tuan putri Rora datang lebih awal lagi jika keluarga mengadakan makan bersama seperti ini?."

Pertanyaan tersebut datang dari selir pertama raja, selir Ellina. Siapapun dapat menangkap bahwa pertanyaan yang ia ajukan adalah sebuah sindiran meski dilakukan dengan penuh senyuman dan bahasa yang diperhalus sedemikan rupa.

Rora memandang tanpa ekspresi sejenak ke arah selir Ellina kemudian tersenyum manis.

"Maaf jika mungkin kebiasaan saya mengganggu anda dan yang lainnya, tapi apakah selir Ellina pernah mendengar bahwa 'sang bintang selalu datang terlambat agar semua mata tertuju kepadanya?'."

Rora menjawab tanpa ragu. Jika ada pertanyaan sudah pasti harus dijawab bukan? Dan jika ada seseorang yang ingin mengusiknya, bukankah harus dibalas dengan hal yang setimpal?

Selir Ellina terlihat terdiam dan kesal dengan ucapan Rora, meski tidak ada yang tahu, ia tengah mencengkeram erat jari-jarinya sendiri dibawah meja untuk menahan amarahnya agar tidak meledak nantinya dan memperkeruh suasana.

Hal itu hanya berlangsung sejenak, sebab sebuah suara tiba-tiba saja menimpali percakapan kurang baik antara Rora dan selir Ellina tersebut, hingga mampu membuat sang selir tersenyum puas seakan menjadi pemenang utama pada detik itu juga karena ada yang membela dan mewakilinya.

"Kau terdengar haus akan kasih sayang." Suara Allane, anak perempuan dari selir Aila terdengar. Sudah tidak heran jika ucapannya menyakitkan, sebab memang begitulah dirinya.

"Tidak. Tentu saja tidak." Kembali Rora menyahuti. "Memangnya apa yang tidak bisa aku dapat jika kau saja bisa mendapatkannya?."

Gigi-gigi Allane gemelutuk, rahangnya mengeras, dengan kedua mata yang tertutup rapat. Kenyataan yang baru saja Rora katakan benar-benar mengusik harga dirinya.

"Sudah! Aku tidak ingin lagi mendengar perdebatan tidak jelas dari pihak manapun, sebaiknya kita semua menikmati makanan sebelum dingin."

Suara raja Nevada terdengar jelas dan tegas. Menghentikan kegaduhan yang sempat tercipta di meja makan tersebut meski tidak terlalu kentara, tapi bagi siapa saja yang menyaksikan bisa melihat dan merasakan bahwa ada sebuah rasa dengki serta amarah yang meliputi hati selir Ellina juga Allane.

Ruang makan seketika hening, seluruh anggota keluarga kerajaan memakan hidangan yang telah disajikan dengan penuh hikmat dan ketenangan.

Dentingan antara sendok dan piring terdengar bersahutan guna meramaikan suasana dalam ruang makan tersebut sebagai ganti dari mulut yang hanya diperbolehkan untuk menghancurkan makanan tanpa boleh mengeluarkan suara.

Beberapa pasang mata didalam keheningan tersebut menatap Rora dengan tatapan rumit, namun yang pasti hati mereka diliputi dengan kejengkelan, dan pasang mata lainnya beberapa kali melirik secara sembunyi-sembunyi penuh kekaguman, seakan sedang memuja sikapnya yang berani menggunakan kedua mata mereka.

Rora jelas tau apa saja yang terjadi disana, siapa saja yang berencana kotor dan siapa saja yang baik atau bahkan yang tidak terlalu peduli dengan kehadirannya, hanya saja ia memilih untuk diam. Selagi tidak ada sesuatu yang mengusik hidupnya dan melukainya secara langsung, maka ia juga akan tetap menutup mulutnya rapat-rapat.

Berpura-pura bodoh itu penting. Menjadi manusia yang seakan tidak mengetahui apapun yang sedang terjadi kadang kalanya lebih aman dibandingkan harus mengumumkan pada semua orang bahwa ia mengetahui segalanya.

Selain pada dasarnya tidak ingin melawan dan merepotkan diri untuk memberi pelajaran pada orang yang kehilangan moral, Rora juga tidak ingin dicap sebagai tuan putri yang menghalalkan segala cara guna mendapatkan kekuasaan.

Meski kenyataannya bukanlah demikian.

Ia cukup menjadi penonton yang akan tersenyum kala anggota keluarganya saling menjatuhkan. Merasa bahagia karena ada orang-orang yang sudi menyingkirkan hama dalam kehidupannya tanpa harus dirinya yang turun tangan.

Sikap Rora adalah netral.

Makan pagi selesai, dengan raja Nevada yang keluar dari ruang makan terlebih dahulu dibarengi dengan permaisuri Xena yang menggandeng tangannya. Keduanya bersiap menuju ruang kerja untuk kembali mengurus segala sesuatu tentang permasalahan kerajaan.

Rora membersihkan bibirnya dengan kain yang sudah tersedia disebelah kanan piringnya, begitu ia akan bangkit dari duduknya, sebuah suara kembali menyambut indra pendengaran Rora hingga dengan terpaksa ia menghentikan gerakannnya.

"Bukankah tuan putri Rora terlalu sombong dengan ucapan seperti itu?." Suara Allane kembali terdengar.

"Aku? Sombong? Tidak adik. Kau salah mengartikan. Aku hanya berbicara fakta. Jika pun kau mengartikannya demikian, bukankah aku tidak salah juga?." Ujar Rora seraya tersenyum.

"Kau..."

"Hentikan Allane!." Suara selir Aila terdengar, memotong ucapan Allane. "Kau tidak sepatutnya berkata demikian kepada kakak mu sendiri!. "Minta maaf pada tuan putri Rora!."

"Aku tidak akan merepotkan diri untuk melakukan hal itu." Ujar Allane.

"Tidak mengapa selir Aila. Tidak perlu diperpanjang, aku akan kembali lebih dulu ke kediaman."

"Maafkan sikap putri ku tuan putri."

Rora hanya mengangguk seraya tersenyum lembut, kemudian berjalan keluar dari ruang makan dengan ekspresi yang tiba-tiba berubah begitu cepat menjadi sedingin kutub. Seketika, ia menjadi manusia paling sulit disentuh setelah senyuman manisnya pudar.

























Ahad, 29 September 2024
23.12 WIB.
1096 KATA.

Sang Panglima Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang