Bagian Kedua Puluh Tujuh

19 1 0
                                    

Masih sangat hangat kabar mengenai tewasnya dayang milik selir Ellina, siang harinya istana kerajaan Alterion kembali dihebohkan dengan kabar jika selir Xandra yang diracuni oleh seseorang.

Semua orang yang memiliki hubungan baik dengan selir ketiga raja tersebut merasa panik lagi cemas, sebab setelah makan siang bersama seperti biasanya selir Xandra tidak memakan apapun lagi.

Hal tersebut membuat banyak orang berfikir keras, kembali menebak siapa orang jahat yang begitu tega meracuni selir Xandra. Padahal anggota keluarga raja yang lainnya tidak mengalami hal yang sama, mereka masih seperti biasa, sehat tanpa merasa ada sesuatu yang mengganjal.

Saat tengah meracik sebuah teh, selir Xandra merasa tenggorokannya panas juga gatal, tidak lama kemudian kemerahan mulai bermunculan disekitar leher sebelum mulutnya mengeluarkan busa putih dan tidak sadarkan diri, hingga saat ini pun, selir Xandra masih belum membuka matanya.

"Bagaimana kondisinya?." Tanya sang raja yang tiba dikediaman sang selir belum lama kepada sang tabib yang tengah menangani selir Xandra.

"Kurang baik yang mulia raja, racunnya telah menyebar dan memang bekerja tanpa dapat disadari oleh siapapun bahkan oleh orang yang mengkonsumsinya. Saya masih bisa memberikan penawar, tapi akan membutuhkan waktu lama untuk selir Xandra sembuh total."

"Lakukan yang terbaik."

"Laksanakan yang mulia raja."

"IBU!."

"Ayah, bagaimana kondisi ibu?."

"Tidak baik, tapi tabib akan melakukan yang terbaik untuk kesembuhan ibu kalian."

Xaviera, gadis yang berteriak 'ibu' itu berlari, memeluk ibunya yang masih terbaring lemah diatas ranjangnya, disusul Xander yang melihat penuh iba kepada keduanya.

Setelah mendengar kabar yang begitu mengejutkan, kedua anak selir Xandra yang masih menghabiskan waktunya di pasar raya segera bergegas kembali. Panik sudah melanda, hati gelisah tiada tara, dan ketakutan kian merajalela tepat setelah utusan raja memberikan keduanya kabar duka.

"Bagaimana ini bisa terjadi ayah?." Tanya Xaviera, dengan air mata yang masih berderai, ia berkata sebisanya sembari sesenggukan, suaranya kian menipis akibat terlalu banyak menangis.

"Ayah juga tidak tau. Menurut para dayang, ibu kalian tidak memakan apapun lagi setelah makan siang tadi, tapi anehnya kami yang memakan dengan masakan yang tentu saja sama tidak merasa demikian." Jelas raja Nevada.

"Apakah hanya makanan ibu yang diracuni?." Tanya Xander lagi. Kini ia duduk disebelah Xaviera, mengelus pundaknya guna memberi kekuatan.

"Ayah akan menuntaskan semua masalah hari ini secepatnya sebelum banyak masalah lainnya berdatangan."

Semua orang tentu saja merasakan kecurigaan, hanya saja mereka tidak berani menuduh dan memvonis seseorang tanpa adanya bukti. Sejahat apapun orang yang menjadi opini, tanpa adanya bukti semuanya hanya akan berakhir percuma.

"Ibu.. Bangunlah! Jangan membuatku takut. Aku disini, tidak ada sesiapapun yang akan membuatmu terluka lagi." Ujar Xaviera, tangisnya kian menjadi.

"Ibu akan baik-baik saja kak." Suara Xander terdengar, meski wajah dan sikapnya terlihat tenang tapi siapapun tau bahwa saat ini hatinya juga diliputi kecemasan mengenai kondisi sang ibu.

"Siapa yang sudah berbuat seperti pada ibu, Akan ku jamin dia tidak akan hidup dengan tenang."

"Sudah kak, kita fokus dulu untuk penyembuhan ibu." Kembali Xander menenangkan.

"Ini tidak bisa dibiarkan begitu saja Xander! Orang itu akan semakin berani dan mungkin saja korbannya bukan hanya ibu, tapi kita."

"Aku tau, kita pikirkan itu nanti."

"Kalian tenang saja, ayah akan membereskannya."

"Iya ayah." Jawab Xander.

Raja Nevada melangkahkan kakinya keluar kediaman selir Xandra, kepalanya terasa semakin berat sebab dipenuhi banyak kasus yang belum terpecahkan, sedangkan ia hanya bisa mengandalkan orang-orang kepercayaannya untuk menangani ini semua, sang raja tidak akan sanggup jika harus mengurus semuanya sendiri.

Sedangkan didalam sebuah kediaman milik sang putri, Rora sedang menikmati semilir angin yang membelai lembut rambut serta wajahnya. Duduk dengan kursi dekat dengan jendela kamarnya, menghirup aroma khas udara bersih yang sehat. Ada aroma wangi tipis juga disana karena berhadapan langsung dengan taman kediaman yang dipenuhi beberapa bunga.

Ia sudah mengetahui kondisi terkini selir Xandra dan siapa yang telah meracuninya, selir Helena, manusia satu itu memang sangat problematik. Mencelakai siapa saja bahkan pada orang-orang yang bahkan tidak mencoba sedikitpun menggagalkan rencananya.

"Tuan putri." Panggil sang dayang.

"Hendrick?."

"Benar tuan putri."

"Sudah ku duga. Biarkan dia masuk."

"Baik tuan putri."

Rora bangkit dari duduknya, berjalan menuju ruang tamu kediamannya. Cepat atau lambat Hendrick pasti akan menemuinya setelah tau apa yang sudah ibunya lakukan. Menceritakan segala keluh kesah padanya. Namun yang sedikit membuat Rora terkejut adalah, Hendrick lebih cepat menemuinya daripada yang ia duga.

"Kakak tuan putri!."

Panggilan khas Hendrick terdengar, saat ditanya alasannya apa dia hanya menjawab,

"Karena kau adalah kakakku, tapi kau juga tuan putri di kerajaan ini."

Hendrick berjalan cepat mendekat, memeluk Rora tanpa aba-aba, tidak peduli jika Rora bisa saja marah dengan sikapnya. Ia hanya butuh pelukan dan seorang penenang serta pundak seseorang untuk bersandar sekarang.

"Kenapa ibuku jahat sekali? Padahal selir Xandra sangatlah baik, dia tidak bersalah." Ujar Hendrick mulai bercerita.

Rora menghela nafas sebelum akhirnya ia membalas pelukan Hendrick, menepuk punggung pelan, membiarkan adiknya itu menuntaskan semua perasaan yang ada dalam hatinya.

Sedih karena tidak dapat mencegah perbuatan jahat ibunya sendiri, kecewa pada sang ibu karena begitu tega melakukan banyak kejahatan bahkan pada orang yang tidak bermasalah dengannya sekalipun, marah pada takdir yang menjadikannya terlahir dilingkup penuh konflik dan rahim perempuan yang jauh dari kata baik.

Semuanya terkumpul menjadi satu didalam batin bocah yang baru memasuki masa remaja itu. Tiada yang dapat ia percaya di dunia ini selain Rora, itu yang sudah tertanam dalam dihatinya.

"Pelayan yang ku tugaskan untuk mengawasi ibu menjelaskan semuanya, aku benar-benar merasa bersalah disini. Aku tidak bisa menghentikan perbuatannya. Aku gagal menjadi anak yang baik."

"Sudah ku katakan, jangan menangisi perbuatan ibumu! Air matamu terlalu berharga untuk menangisi orang sepertinya." Ujar Rora, seakan tidak peduli jika Hendrick nantinya membenci ibunya sendiri.

"Tapi aku tidak bisa, aku ingin menangis setiap kali ibu melakukan keburukan."

"Anak baik." Ujar Rora, kali ini ia mengelus lembut rambut Hendrick. Masih membiarkannya memeluk erat dirinya.

Seburuk apapun selir Helena dimata dunia, Hendrick akan tetap mengakuinya sebagai ibu yang telah mengandung dan melahirkannya. Hendrick hanya tidak suka dengan perbuatan jahat sang ibu, bukan orangnya.

Rora menatap lurus kedepan, pandangannya tajam namun terlihat datar. Semua orang cemas dengan kondisi mereka yang mungkin saja bisa menjadi korban selanjutnya, kepala mereka dipusingkan oleh hal yang sama, mencari dan mendapatkan pelaku agar ia dikenakan hukuman yang setimpal.

Akan tetapi, yang menjadi pusat masalah justru dengan tenangnya hidup didalam istana dengan berbagai fasilitas lengkap yang telah tersedia, tanpa merasa bersalah, apalagi merepotkan diri untuk meminta maaf.

Mengingat itu semua Rora merasa geram, banyak yang merasa panik dengan keadaan saat ini, anaknya sendiri dibuat menangis karena melihat kelakuan bejatnya, jika terus dibiarkan maka tentu saja akan semakin banyak korban yang berjatuhan.

'Sudah cukup bermain-mainnya.'







































Selasa, 15 Oktober 2024
21.23 WIB.
1084 KATA.

Sang Panglima Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang