Bagian Ketujuh

39 3 0
                                    

"Makan kue itu dan cium baunya!."

Ucapan dengan nada penuh memerintah keluar dari mulut sang putri, ia menyuruh kedua dayangnya untuk mencicipi barang satu saja kue yang sempat Ellena buat. Rora memang dilatih oleh keadaan untuk selalu berhati-hati dalam segala hal.

"Baik tuan putri."

Kedua dayang tersebut mengambil masing-masing satu kue buatan Ellena, setelahnya mereka mulai membaui kue tersebut, tanpa suara mereka menganggukkan kepala dan salah satu dari keduanya kemudian berkata.

"Kue ini aman tuan putri."

"Bagus. Sajikan saja, dan bawa ke kamar ku."

"Laksanakan tuan putri."

Rora berjalan menuju ke kamarnya kembali. Tidak ada yang tau bahwa kedua dayang yang senantiasa melayaninya sudah ia latih sedemikian rupa sehingga mereka bisa berlaku layaknya seorang tabib.

Selain mendapatkan pelatihan dari istana yang memang diwajibkan bagi seluruh calon pelayan juga dayang, Rora secara khusus menyuruh keduanya untuk mempelajari tentang obat-obatan, racun, dan juga segala macam penyakit.

Antisipasi keselamatan diri untuk masa depan sangatlah penting ditengah kehidupan yang penuh dengan ancaman seperti ini.

Kali ini, sang putri memilih untuk membuat dan menjahit motif sebuah sapu tangan. Hujan masih belum juga usai, sehingga membuatnya hanya bisa berdiam diri di kamar dengan aktivitas yang sebenarnya membosankan.

Rora lebih senang menghabiskan waktu di halaman atau taman kediamannya, merawat dan memanjakan bunga hias kesayangannya. Terkadang ia juga bepergian ke pasar raya hanya untuk  memakan makanan khas kerajaan disana.

Meski para pelayan dan dayang akan sangat siap jika disuruh membuatnya, tapi melangkahkan kaki keluar area istana dan memakan makanan tradisional langsung ditempatnya memiliki cita rasa tersendiri.

Fokus Rora kini hanya tertuju pada kegiatannya yang sedang menjahit kain persegi empat berukuran kecil berwarna putih tersebut, dengan motif bunga mawar berwarna merah cerah dibagian pinggirnya, ia jahit dengan tangannya sendiri secara teliti. Ketenangan merayap dan memeluk erat dirinya, dan Rora sangat menyukai hal ini.

Sesekali ia akan memakan kue buatan Ellena, meminum teh yang telah disajikan oleh dayang sebelumnya, dan kembali ke aktivitas menjahitnya. Memang sedikit monoton dan membosankan, akan tetapi hal ini bisa sedikit mengalihkan perhatiannya dari pikiran negatif yang sering kali muncul tanpa ia sadari.

Rora merasa lebih aman jika sedang sendirian seperti ini. Suasana yang tenang tanpa gangguan dari apapun dan siapapun adalah impian terbesarnya, bahagia tanpa memiliki beban adalah sesuatu yang selalu ia harapkan.

Kedengarannya konyol dan sederhana, tapi memang itulah keinginannya. Hidupnya sudah tidak baik-baik saja bahkan sejak sang ayah menikah lagi dengan selir Ellina. Semuanya berubah dalam sekejap mata.

"Mohon maaf tuan putri." Suara dayang menginstruksi Rora hingga ia mengalihkan pandanganya ke salah satu dayangnya yang sedang berdiri tidak jauh darinya. Menghentikan aktivitasnya yang sedang menjahit sapu tangan itu.

"Ada apa?."

"Pangeran Hendrick datang berkunjung."

"Hendrick?." Tanya Rora kembali guna memastikan bahwa apa yang ia dengar bukanlah kesalahan.

"Benar tuan putri."

"Persilahkan dia masuk."

"Baik tuan putri."

Rora semakin dalam menautkan kedua alisnya. Hendrick adalah adik laki-laki yang paling kecil dari selir terakhir sang ayah, selir Helena. Ia terlihat sangat polos dan baik, mereka juga sering berbagi kisah. Tidak, lebih tepatnya Hendrick yang sering berkeluh kesah kepadanya mengenai banyak hal terutama tentang sang ibu yang amat serakah.

Rora berjalan menuju ruang tamu, sesampainya disana ia melihat Hendrick sudah duduk seraya menunduk dengan keadaannya yang basah kuyup, ada kain yang menutupi rambutnya, sepertinya dayang sengaja memberikannya untuk mengeringkan rambut Hendrick yang basah itu.

"Kau pasti tau akibat setelah menerobos hujan dan tidak segera mandi." Ujar Rora. Ia duduk di kursinya.

Ia terlihat seperti kakak yang begitu menyayangi adiknya sehingga bersikap protektif dan tidak ingin sesuatu yang buruk menimpanya.

Hendrick tidak menjawab, ia justru mengangkat pandangannya kearah Rora secara perlahan seakan memberitahu kondisinya lewat mimik wajah. Dapat Rora lihat mata anak itu berkaca-kaca disertai ekspresi sedih yang kentara.

Meski tubuh dan wajahnya basah, tapi Rora dapat dengan jelas membedakan bahwa kedua mata Hendrick yang saat ini memerah itu karena ia akan menangis, bukan hanya sekedar terkena air hujan.

Rora menghela nafasnya. "Kemari!." Ujarnya, sebab Hendrick duduk dibagian ujung kursi yang cukup untuk menampung tiga orang, dan itu lumayan jauh dari tempat duduk Rora.

Hendrick hanya diam, tapi tubuhnya perlahan mendekat kearah Rora. Ia kembali menundukkan kepalanya begitu tiba didekat sang kakak.

Rora belum mengeluarkan suaranya lagi, ia memilih diam dan mengusap rambut Hendrick guna mengeringkan rambutnya yang basah. Hingga beberapa saat kemudian terdengar isakan kecil yang berasal darinya.

Rora belum juga berujar, membiarkan Hendrick menuntaskan perasaannya lewat tangisan. Ia tidak ingin mengganggu dan memaksa Hendrick untuk bercerita apa yang sudah dialaminya sebelum datang kemari, apalagi dalam keadaan seperti itu.

Lagipula ia juga akan bercerita sendiri nantinya jika memang ingin, tidak perlu sampai Rora yang bertanya dan mendesak. Hendrick akan dengan sendirinya mencurahkan isi hatinya jika sudah tenang nanti.

"Aw! Sshh.."

"Hm? Kenapa? Ada sesuatu yang sakit?."

Suara ringisan Hendrick terdengar, hingga otomatis menghentikan gerakan Rora yang sedang mengusap wajahnya. Anak remaja itu mengangguk sebagai pembenaran pertanyaan Rora.

Rora menyingkirkan handuk tersebut, mengangkat wajah Hendrick yang masih saja menunduk dan memperhatikannya dengan lebih jelas.

"Tunggu sebentar."

Setelah berkata demikian, Rora berlalu begitu saja tanpa mengatakan penjelasan apapun lagi, tapi Hendrick jelas tau bahwa sang kakak yang meski berbeda ibu dengannya itu akan mengambil kotak berisi obat-obatan untuk mengobatinya. Seperti biasanya.

Rora kembali, membawa dan  meletakkan kotak berisi obat-obatan ringan tersebut ke atas meja. Ia mulai meracik sesuatu dan mengobati luka Hendrick.

"Ibu memukul ku lagi." Ujar Hendrick mulai bercerita.

Lihat! Hendrick memang akan dengan sendirinya menceritakan apa yang sudah terjadi jika sudah seperti ini. Mencari seseorang yang bisa menjadi pendengar yang baik untuk segala sesuatu yang menimpa kehidupannya yang pahit.

Rora adalah pilihan yang tepat menurutnya.

Jika bisa, Hendrick ingin menjadikan sang putri itu teman sejatinya, tempatnya pergi agar ia bisa mendengar pembelaan yang akan Rora katakan padanya tanpa harus mencari sosok lain lagi.

Meski itu terdengar mustahil, sebab sejatinya Rora memang sangat sulit untuk didekati. Sebaik apapun orang tersebut, ia tidak akan sembarangan dalam bertindak. Hendrick bisa menganggap hubungan mereka sudah cukup dekat, tapi untuk Rora? Sepertinya tidak akan pernah merasa demikian.

Lagipula Hendrick lah yang sering mengeluhkan masalahnya, dengan Rora yang hanya menjadi pendengar yang baik dan kedua bibirnya yang lebih banyak tertutup rapat sebelum akhirnya menasihati sesuai dengan pandangannya atau kejadian serupa yang pernah dialaminya.

Jelas mereka tidak bisa dibilang dekat jika hanya satu pihak saja yang berbagi kisah hidupnya.






























Senin, 30 September 2024
21.52 WIB.
1042 KATA.

WATTPAD dan MUSIK
adalah pengalihan dari masalah
yang sedang terjadi.🙂

Sang Panglima Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang