Bagian Kedua Puluh Dua

12 2 0
                                    

"Tuan putri."

"Ada apa?."

"Ada pangeran Alarick didepan kediaman dan ingin bertemu dengan anda."

"Baiklah. Persilahkan dia masuk."

"Baik tuan putri."

Rora menyudahi kegiatannya yang sedang membuat minyak wangi, bunga mawar dan tanaman vanila yang sempat ia petik kemarin sedikit layu akibat dibiarkan terlalu lama di suhu ruangan.

Rora berdiri, berjalan anggun menuju ruang tamu kediamannya. Ia sudah bisa menebak jika Alarick akan berkunjung ke kediamannya, dan tepat pada pagi ini sang adik meski berbeda ibu itu mengunjunginya seakan ia ingin mewujudkan prasangka Rora.

"Kak Rora." Sapa Alarick seraya memberikan penghormatan.

"Duduk!." Perintahnya. "Bagaimana kabarmu?."

"Sehat. Bagaimana keadaan kakak?."

"Baik." Rora menuangkan teh yang berada dalam teko ke dua cangkir sekaligus kemudian meletakkannya dihadapan Alarick.

"Terima kasih."

"Ada yang ingin kau ceritakan?."

"Kau sangat tau apa yang menjadi kebiasaanku."

"Karena memang begitulah dirimu."

"Apa benar jika Allane kembali berulah?."

"Kau bertanya pada orang yang tepat, dan jawabannya adalah iya. Ku rasa kau juga sudah mengetahuinya."

"Aku sedikit tidak yakin."

"Kenapa begitu? Bukankah kau tau sendiri bagaimana sikap adikmu?."

"Iya. Tapi untuk merusak sebuah pesta milik saudaranya sendiri hingga membahayakan nyawa tidak bersalah, itu sungguh keterlaluan."

"Itu tidak terdengar mustahil ditelinga ku."

Alarick terlihat menghela nafas. Beban berat sebagai anak pertama yang seakan dituntut harus selalu menjadi pembimbing dan mengajarkan kebaikan kepada kedua adiknya yang bermasalah sudah pasti tidak akan mudah.

"Kemana saja kau pergi kali ini?." Tanya Rora, berusaha mengalihkan pembicaraan.

"Tidak jauh. Hanya hutan kerajaan, aku berkemah disana." Jawab Alarick.

"Bukankah seharusnya kau di istana untuk mengawasi adik-adikmu? Kau melarikan diri, terkejut karena suatu kabar tentang bagaimana jahatnya saudaramu,"

"Tapi justru memilih menjauh dibanding mengarahkan mereka ke jalan yang benar, lalu datang kemari hanya untuk sekedar berkeluh kesah, bukankah itu hal yang aneh?." Rora berujar panjang. Alarick memperhatikan sang kakak lekat.

"Aku ingin, namun mengingat akan ada banyak sesuatu yang tidak bisa ku kendalikan rasanya sangat percuma jika aku disini."

"Setidaknya kau sudah berusaha." Rora meminum tehnya dengan anggun.

"Ngomong-ngomong, Xaviera juga sudah membalas perbuatan adikmu." Ujar Rora. Meski ia tau jika Alarick sudah mengetahui hal ini juga pastinya.

"Aku tidak menyalahkan Xaviera tentang hal ini. Lagipula, sudah menjadi hal wajar jika dalam kerajaan ini yang yang mati karena terbunuh, bahkan jika itu aku seharusnya tidak perlu diragukan lagi."

"BERI PENGHORMATAN KEPADA PANGLIMA KERAJAAN ALTERION DAN PASUKAN."

Rora dan Alarick terdiam sejenak setelah mendengar suara dari salah satu prajurit yang menggelegar tersebut, mereka menoleh ke titik pusat yang sama seakan jika melakukan itu, keduanya akan mendapatkan jawaban dari apa yang mereka dengar, meski sudah jelas maksudnya, tapi baik Rora maupun Alarick ingin lebih memastikan.

Sang Panglima Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang