Bagian Kedelapan

21 3 0
                                    

"Aku berusaha menghentikan ibu saat ia akan meracuni Allane karena dirasa begitu menyebalkan, padahal dua-duanya sama-sama bermulut pedas dan tidak mau mengalah."

"Aku dengan sengaja menumpahkan minuman yang akan disajikan pelayan untuk Allane dari ibu, saat ibu ku tau dia langsung memanggil ku lalu menampar pipi dan memukul bagian pelipis ku tanpa bertanya lebih dulu kenapa bisa aku begitu ceroboh dan melakukan itu."

"Ibu sangat tau bagaimana cara kerja otakku dan sikapku yang sering kali secara diam-diam mengawasinya."

"Kau sama sekali tidak takut pada wanita yang kau sebut ibu itu sepertinya." Ujar Rora. Bahkan Rora pun tidak habis pikir bagaimana Hendrick bisa dengan mudah menyebut 'ibu' untuk wanita seperti itu, terlepas dari selir Helena yang sudah melahirkannya.

"Aku sering mengacaukan rencananya, alih-alih merasa takut aku justru terhibur dan bisa menemukan pekerjaan baru."

"Kau juga harus menanggung konsekuensinya, bahkan jika kau hanya berniat melakukan hal itu." Ujar Rora, ia menyudahi kegiatannya yang mengobati luka Hendrick lalu merapihkan kotak obat itu kembali.

"Aku menangis bukan karena merasa sakit atas luka ini, tapi lebih menangisi nasib dan juga kelakuan ibu ku yang semakin menjadi setiap harinya."

"Kau anak yang baik juga bodoh di waktu yang bersamaan." Ujar Rora sarkas.

"Terima kasih sudah mengobati ku."

Rora terdiam sejenak mengamati Hendrick sebelum ia menyajikan teh untuknya dan menyuruh adik kecilnya itu minum. Disaat Hendrick tengah menikmati tehnya itulah, kembali Rora memperhatikan dengan tatapan dalamnya.

"Kau sepertinya benar-benar sudah memasrahkan hidup mu pada ku, jika boleh jujur sampai saat ini aku tidak menyangka jika kau berbahasa informal dengan ku disaat semua orang berperilaku seolah segan pada ku."

Hendrick menatap Rora lamat-lamat, ia menyudahi minum tehnya dan meletakan cangkir ke atas meja.

"Karena aku merasa nyaman dengan mu, aku bisa menceritakan segalanya tanpa takut kau membeberkan kepada orang-orang. Aku percaya padamu." Ujar Hendrick, bibirnya menyunggingkan senyum tulus.

"Sudah ku katakan kau tidak boleh percaya sepenuhnya pada manusia manapun termasuk aku."

"Tidak masalah jika mungkin pada akhirnya kau berkhianat atau bahkan membunuh ku, lagi pula aku tidak benar-benar ingin melanjutkan hidup setelah takdir yang telah menimpa hidup ku seperti ini." Kembali Hendrick tersenyum, Rora memandang datar padanya.

"Jika kau merasa aku tidak sopan pada mu dan ingin membunuh ku detik ini juga, itu tidak akan menjadi masalah, karena tidak akan ada orang yang mencari keberadaan ku. Aku cukup sadar diri jika kehadiran ku di dunia ini memang tidak diharapkan."

"Aku tidak seceroboh itu untuk membunuh mu sekarang, mungkin nanti setelah aku merancang rencana sedemikian rupa. Tunggu saja."

Bukannya merasa takut, Hendrik justru tertawa pelan mendengar niat Rora. Ia cukup tau kepribadian kakak tertuanya ini, ia hanya sedang bercanda meski wajahnya begitu serius dan sangat meyakinkan.

"Ada yang ingin kau katakan lagi?."

"Tidak. Tapi jika ku lihat, putri Elle sedang berusaha agar dekat dengan mu juga."

Reflek, Rora menaikan sebelah alisnya, selain bingung dengan ucapan Hendrick, ia juga seakan berkata lewat mimik wajahnya 'bukankah ini tandanya masih ada yang ingin kau katakan?'.

"Tidak tau juga. Sikapnya memang berubah-ubah."

"Dia terkenal acuh, tapi siapa sangka jika sikapnya begitu sopan pada mu, seperti sedang menjilat?."

"Tidak perlu memusingkan hal yang tidak perlu."

"Baiklah."

"Pulanglah! Ganti bajumu! Aku tidak ingin ada tuduhan kau sakit karena berkunjung ke kediaman ku dan aku apa-apakan."

Hendrick mengangguk patuh, lalu bangkit berdiri dan berniat keluar dari ruang tamu kediaman Rora setelah sang putri mengusirnya terang-terangan.

"Ingat satu hal!."

Hendrick menghentikan langkahnya begitu mendengar Rora berkata penuh peringatan. Ia berbalik dan menatap Rora yang justru sibuk menuangkan teh ke cangkir baru.

"Jangan datang kesini dalam keadaan menangis karena kekerasan yang ibu mu lakukan! Tidak perlu memaksakan diri untuk terlihat dewasa!."

Hendrick tersenyum, mengangguk penuh semangat, dan bergumam yang menunjukan bahwa ia akan melakukan apa yang Rora katakan. Ia kembali melanjutkan langkah keluar dari kediaman itu.

Hendrick dapat dengan jelas menangkap maksud dari Rora bukanlah hanya sekedar itu, sang putri seakan tidak mengizinkan Hendrick untuk menyia-nyiakan air mata hanya untuk menangis wanita yang tidak sepatutnya disebut ibu.

Rora memperbolehkan dirinya menangis karena hal lain, akan selalu mengobati lukanya, dan akan selalu menyambutnya dengan hangat kapan pun ia datang. Sang kakak memang begitu baik, hanya saja tertutup dengan sikapnya yang sedikit dingin dan berhati-hati sehingga terlihat tidak berperasaan.

Setelah Hendrick menutup pintu kediaman, barulah Rora menatap dengan pandangan begitu dalam kepada pintu yang telah menelan sosok adik bungsunya itu.

Hendrick adalah definisi manusia kuat dan pemberani, pada usia yang baru memasuki dunia remaja itu pikiran dan sikapnya sudah dipaksa menjadi dewasa oleh kondisi lingkungannya.

Meski seringnya tindakan yang diambil begitu beresiko, tapi herannya ia masih tetap melakukannya. Menjadi pahlawan dan berpura-pura kuat sebenarnya tidak begitu baik untuk jiwanya yang masih labil dan dengan emosi yang memuncak hanya sesaat, hanya saja Rora tidak bisa mencegah.

Rora dan Hendrick tidak sedekat itu, hingga rasanya untuk memperingati segala hal yang remaja itu lakukan tidaklah patut menurut Rora. Biarlah, jika Hendrick hanya berkunjung jika membutuhkan sesuatu, itu lebih baik daripada ia harus ikut campur terlalu dalam permasalahan internalnya.

"Mohon maaf tuan putri. Ada undangan pesta bunga yang datang dari putri Xaviera."

Ucapan itu datang dari salah satu dayang, setelah ia mengetuk pintu dan Rora yang mengizinkan masuk, dayang tersebut segera menyampaikan pesan undangan yang ia dapat beberapa saat lalu.

"Kapan?." Tanya Rora seraya menerima undangan yang dayangnya terima.

"Besok pagi di taman kediaman putri Xaviera tuan putri." Jelasnya lagi tanpa harus menunggu Rora bertanya lebih lanjut.

Rora memperhatikan undangan tersebut, lipatan kertas yang dibentuk hingga menyerupai sebuah amplop dan didalamnya terdapat tulisan bahwa ia adalah tamu penting untuk acara pesta tersebut membuatnya tertawa hambar.

"Bakar!." Ujarnya pada sang dayang.

"Mohon ampun jika saya lancang tuan putri, apakah anda akan datang ke pesta bunga itu?." Sang dayang bertanya penuh kewaspadaan, tidak ingin merusak suasana hati Rora meski pertanyaan yang ia ajukan sangatlah sederhana, apalagi setelah ia mendapat perintah untuk membakar undangan tersebut, bisa terlihat jika Rora sejatinya tidak begitu tertarik untuk datang ke pesta itu besok.

"Hm. Aku akan datang. Sayang rasanya jika melewatkan pertunjukan." Lanjutnya dalam hati.

"Belikan aku bunga mawar hitam malam ini."

"Laksanakan tuan putri."

"Kau boleh pergi."

Sang dayang mundur secara teratur sebelum membalikkan tubuh dan berjalan keluar dari kediaman Rora, meninggalkan sang putri yang tersenyum cerah sebelum akhirnya berekspresi datar kembali.




























Selasa, 1 Oktober 2024
08.04 WIB.
1044 KATA.

Semangat walau Berat!

Sang Panglima Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang