Bagian Kesembilan

23 3 0
                                    

Rora menyesap tehnya dengan penuh kehati-hatian setelah memastikan banyak orang yang juga meminum dari teko yang sama dengannya. Ia duduk dengan tenang seraya sesekali mengamati keadaan.

Pagi ini ia sedang menghadiri undangan pesta bunga yang diadakan oleh Xaviera, anak dari selir ketiga sang ayah, selir Xandra. Rora sudah duduk di kursi yang katanya disediakan khusus untuknya itu sejak tadi, dan sampai saat ini ia belum juga beranjak untuk sekedar berbasa-basi.

Rora tidak perlu merepotkan dirinya untuk menyapa tamu undangan, apalagi ini bukan pesta miliknya, justru banyak bangsawan yang berdatangan kearahnya hanya untuk sekedar memberi penghormatan atau menyapanya setelah mereka menemui sang pemilik acara.

Bunga mawar hitam, bunga yang teramat langka dan mahal harganya yang ia beli semalam itu sudah diserahkan oleh dayangnya kepada Xaviera.

Respon Xaviera? Tentu saja senang bukan main. Ia bukan melihat makna dari mawar hitam tersebut, melainkan harganya yang mahal, bahkan dapat dipastikan hanya orang-orang tertentu dari kalangan atas sajalah yang mampu membeli dan memilikinya.

Xaviera seakan tersanjung karena Rora mau mengeluarkan uang yang begitu banyak untuk pesta bunganya dengan memberinya mawar hitam. Manusia yang berpendidikan akan memandang secara mendalam segala sesuatu yang berada disekitarnya, bukan hanya sekedar memiliki agar bisa menyombongkannya kepada siapa saja.

Atau.. Xaviera hanya berpura-pura senang dan bersikap polos?

Bunga-bunga yang dibawa oleh tamu undangan diletakkan dibagian depan, disusun rapih diatas sebuah meja, dan bunga mawar hitam itulah yang paling menonjol diantara yang lainnya. Selain karena tinggi, warna bunga, dan siapa yang memberinya, bunga tersebut terlihat begitu menarik perhatian sebab banyak orang yang membicarakan harganya yang mahal.

Rora tidak terlalu menggubris ucapan orang-orang yang bahkan secara terang-terangan menunjukkan kearahnya sebab membawa bunga mawar hitam tersebut. Ia memilih menyibukkan diri dengan camilan dan teh yang sudah disediakan.

Rora memperhatikan sekitarnya lagi, begitu banyak tamu yang sengaja Xaviera undang, entah dari kalangan bangsawan atau anak pejabat. Semuanya berkumpul dalam satu tempat dan banyak diantara mereka yang saling bertukar cerita. Tidak seperti dirinya yang memilih diam.

Rora jelas tau bahwa tamu yang Xaviera undang adalah orang-orang yang punya pengaruh besar di kerajaan, mereka saling mengenal kemudian menjadi dekat dan selanjutnya akan membangun sebuah koneksi untuk membentuk kekuatan.

Namun terlepas dari itu semua, satu yang dapat Rora pastikan, bahwa semua wajah penuh senyuman yang sedang mereka pamerkan adalah sebuah kepalsuan. Mereka boleh saja terlihat bersahabat kepada orang-orang tertentu yang dirasa penting, tapi ketika mereka berbalik ke belakang, kedua telapak tangan seketika menggenggam erat. Kentara sekali jika mereka sebenarnya tidak suka dengan basa-basi yang baru saja dilakukan.

Pandangan Rora terus mengedar, tidak ingin terdiam pada satu objek yang membosankan, hingga akhirnya kedua bola matanya itu tertuju pada sosok yang terus saja menundukkan kepalanya bahkan sejak awal ia datang dan sampai detik ini.

Rora menatap secara intens pada gadis tersebut, sesekali ia terlihat memakan camilannya dalam diam dan membalas sapaan orang-orang yang dirasa mengenal sosoknya dengan sapaannya yang sederhana dan senyuman kaku.

Diatas Rora masih ada Jesselin. Begitulah kira-kira jika mereka diadu siapa yang paling pendiam dan tidak acuh terhadap sekitar.

Jika Rora masih memantau keadaan disekelilingnya dan memperhatikan gerak-gerik manusia, Jesselin dengan tanpa lelahnya menundukkan kepala selama acara berlangsung dan hanya beberapa kali mengangkat kepalanya hanya untuk membalas sapaan.

Tanpa sadar Rora menggerakkan lehernya saat melihat sikap Jesselin, ia merasa pegal sendiri. Bahkan saat Jesselin meminum tehnya seperti saat ini pun, ia masih saja menundukkan kepalanya.

Rora sering kali tidak habis pikir dengan perilaku Jesselin. Rasa malu tentu saja boleh diterapkan, bahkan harus sebab mereka adalah wanita bangsawan yang wajib menjaga sikap dimana pun, tapi jika kasusnya seperti Jesselin? Entahlah.

"Apa yang sedang kau perhatikan?."

Sebuah suara datang dari arah samping Rora hingga sedikit mengejutkannya, terlihat disampingnya kini sudah duduk gadis cantik yang saat ini sedang meminum tehnya dengan anggun.

"Jesselin." Ujar Rora. "Lalu apa yang sedang kau lakukan disini, Lana?." Tanya Rora. Lana, anak terakhir dari selir Ellina.

"Ini tempat duduk ku. Aku sengaja baru datang. Ngomong-ngomong, ada apa memangnya dengan Jesselin?."

"Tidak. Dia hanya semakin menjadi pendiam dan anti dengan sosial."

"Dari dulu memang ia begitu. Kau ingin menghampirinya dan mengajaknya berbicara?."

"Tidak."

"Aku penasaran kenapa dia begitu pendiam, apakah ada yang sedang ia pikirkan? Tapi apa? Bukankah seumur hidup terlalu lama untuknya bersikap seolah beban dunia berada dipundaknya?."

"Jika kau penasaran, tanyakan saja."

"Sudah pernah."

"Lalu?."

"Katanya memang ia merasa malu dengan orang-orang apalagi orang baru yang dia temui, Jesselin takut salah dalam bertingkah, makanya dia menjadi pendiam."

"Itu alasan yang masuk akal, seharusnya kau tidak perlu lagi bertanya-tanya."

"Jesselin terlihat seperti melamun daripada malu, itu yang membuat ku ingin bertanya."

"Sebab tidak ada yang bisa dia lakukan dengan sikap malunya, maka dari itu ia memilih melamun."

"APA MAKSUD MU MELAKUKAN SEMUA INI?."

"Waw! Pertunjukan sudah dimulai? Kenapa cepat sekali?." Tanya Lana kepada Rora. Sang putri hanya mengangkat bahunya seraya tersenyum miring tipis tanpa Lana sadari.

Suara teriakan dengan jarak cukup jauh dari tempat duduk Rora dan Lana menggelora seakan memenuhi setiap sudut taman, membuat perhatian semua tamu beralih kearahnya.

"Aku sudah minta maaf dan bilang jika aku tidak sengaja." Ujar seseorang yang sepertinya adalah pelaku dari kerusuhan tersebut.

"Maaf? Sungguh kau hanya meminta maaf padaku tanpa mau bertanggung jawab membersihkan gaun ku yang kotor karena ulah mu? Aku juga tidak percaya jika kau tidak sengaja, semua orang tau bagaimana sikap menyebalkanmu."

"Tentu saja aku akan membersihkannya, tapi bisakah kau berkata dengan lebih baik? Tidak perlu berteriak! Lihat! Semua mata tertuju kearah kita sekarang dan aku benar-benar tidak sengaja."

Ada keterdiaman sejenak setelah suara itu terdengar, sang korban sepertinya sedang mengamati keadaan dan menahan malu saat ini.

"Tunggu sebentar! Aku akan membersihkannya." Ujarnya seraya berbalik pergi.

"Pengacau!." Kali ini suara Xaviera terdengar, menahan kesal kepada seorang gadis yang sempat berteriak kesetanan.

"Kau lihat apa yang sudah kau lakukan? Pesta ku kacau karena dirimu!."

"Lalu apa? Kau akan mengusir ku?."

"Tidak. Tidak perlu aku yang harus mengusir mu, seharusnya kau sadar diri dan pergi dari sini setelah mempermalukan diri dan merusak pestaku, itupun jika kau masih memiliki rasa malu."

"Apa kau bilang?."

"Apa? Bukankah yang ku katakan adalah benar?."

"Kau membuat harga diri ku terluka Xaviera!."

"Kau yang bertindak seenaknya di acara orang lain."

"Sudah! Hentikan perdebatan kalian! Allane, bagian mana dari gaun mu yang kotor, biar aku bersihkan."

"Tidak perlu."

Tanpa peduli dengan tatapan tercengang dan kesal dari sang pelaku, Allane, gadis yang memang selalu membuat keributan itu berlalu begitu saja, meninggalkan pesta dalam keadaan marah seraya dendam dalam hatinya.





































Selasa, 1 Oktober 2024
22.09 WIB.
1080 KATA.



Sang Panglima Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang