Bagian Kedua Puluh Lima

12 2 0
                                    

Pagi itu istana kerajaan Alterion dihebohkan dengan penemuan mayat salah satu dayang milik selir Ellina. Mungkin saja berita tersebut tidak akan sampai menyebar begitu luas hingga semua orang yang tinggal di istana mengetahuinya, jika si mayat tersebut tidak tergeletak begitu saja didepan pintu masuk aula kerajaan.

Semua otak manusia mulai bergerak, mencoba menebak siapa yang telah melakukan hal keji demikian, dan apa saja yang sudah dilakukan pelaku hingga dayang tersebut mati dengan bersimbah begitu banyak darah miliknya sendiri.

Semalam, setelah pesta digelar tidak ada sesuatu yang mencurigakan, segalanya berjalan aman dan raja maupun ratu tidak menemukan kendala apapun, tapi pagi ini semuanya berubah.

Semua orang bergidik ngeri dan nyawa setiap orang yang melihat hal tersebut terasa diancam pada setiap detiknya, tidak peduli jika melakukan kesalahan atau tidak, sebab memang seperti inilah dunia kerajaan. 

Hanya dijadikan bahan ancaman kepada musuh agar tidak semakin macam-macam dan meremehkan lawannya. Siapa saja bisa menjadi korban, tidak terkecuali anggota keluarga kerajaan.

Setelah mendapat laporan dari salah satu penjaga bahwa ada mayat yang berada didepan pintu aula, sang raja yang sedang menyelesaikan pekerjaannya diruang khusus segera menuju ke tempat. Menatap secara mendetail apa yang telah diperbuat pelaku kemudian memperhatikan satu-persatu orang yang juga sedang menyaksikan mayat tersebut.

"Ceroboh! Bagaimana hal seperti ini bisa terjadi? Apa kalian semua tertidur saat sedang berjaga?." Tanya raja Nevada, ia mulai marah dengan segala hal buruk yang terjadi.

"Maafkan kami yang mulia raja," Suara penjaga pintu aula kerajaan terdengar, dengan kepala menunduk takut dan mati-matian menjaga keberaniannya, ia mulai bercerita.

"Tadi malam kami melihat orang misterius seperti sedang mengintai istana, maka dari itu kami mengejarnya. Maafkan kami karena bertindak bodoh dan ceroboh!." Ujarnya merendah.

Sang raja terlihat menghela nafas kasar, raja Nevada  tidak bisa sepenuhnya menyalahkan dua penjaga yang diletakkan didepan pintu aula tersebut, karena ia tahu, musuh bisa darimana saja datang dan menunggu saat-saat mereka lengah, apalagi ia juga sangat tau bahwa itu hanyalah trik agar rencana pelaku berjalan dengan lancar. Mengecoh penjaga.

"Bereskan!." Perintah raja Nevada.

"Baik yang mulia."

"Raja!."

Suara seorang wanita terdengar, selir Ellina, wanita itu berjalan setengah berlari menuju suaminya dengan ekspresi takut dan sedih yang dibuat-buat. Raja Nevada hanya menatap datar pada selir pertamanya itu.

"Raja, aku.. Aku sangat takut. Mereka mengancamku! Mereka ingin membunuhku! Mereka ingin kita berpisah!." Ujar selir Ellina seraya memeluk manja pinggang sang suami.

"Apa maksudmu dengan 'mereka'? Kau tau siapa pelakunya?."

"Aku tau ini sulit dipercaya, tapi selir Helena dan selir Xandra bekerja sama untuk membunuhku." Ujarnya, kali ini dengan menatap raja Nevada dengan wajah paniknya.

"Kau memiliki bukti?."

"Aku sangat yakin."

"Keyakinan mu saja tidak cukup! Kau harus memiliki bukti dan minimal dua saksi jika ingin menjatuhkan seseorang." Ujar raja.

"Tapi hanya mereka yang menginginkan nyawaku!."

"Untuk apa? Bahkan ada dan tidaknya dirimu saja tidak terlalu penting untuk kerajaan ini."

Selir Ellina melepaskan pelukannya, menatap dengan mimik tak percaya jika suaminya sendirilah yang berkata demikian.

Raja Nevada bergeming, melihat dengan kedua mata dan wajahnya yang hanya berekspresi datar. Sama sekali tidak terpengaruh jika nantinya selir Ellina marah kepadanya. Lagipula selir pertamanya ini memang sudah sangat tau bagaimana sikap raja Nevada kepadanya, maka tidak perlu sampai terkejut jika sang raja berkata demikian dan tidak perlu berharap apapun lagi semestinya.

"Kau sungguh berkata seperti itu disaat anak pertamaku lah yang menjadi kandidat kuat untuk penerus kerajaan ini?." Selir Ellina berkata.

"Itu tidak pasti! Kau jelas tau itu! Lagipula jika kau melahirkan seribu anak laki-laki pun, belum tentu satu diantara mereka akan menjadi penerusku." Ujar raja Nevada dengan nada kesal.

"Kau sungguh jahat raja!."

"Dan seharusnya kau sudah tau juga akan hal itu."

Raja Nevada berbalik pergi, tidak dipedulikannya selir Ellina yang kesal atas perlakuannya. Selir Ellina menggeram marah, menatap tajam kearah perginya sang suami disertai tangannya terkepal kuat.

"Ku pastikan kau akan menyesal Nevada!." Ujarnya penuh tekat lalu berbalik dan menjauhi aula.

Rora, gadis yang sejak tadi memperhatikan dari jarak yang cukup jauh bahkan sebelum selir Ellina datang itu hanya menunjukkan ekspresi datar. Sama sekali tidak merasa kesal dan cemas sebab sang ayah mungkin saja akan menerima bahaya dari selirnya sendiri nantinya.

"Selir Helena sudah semakin berani untuk memulai peperangan." Ujar Rora lirih. Kali ini, ia tidak bersama dia dayangnya. Ia hanya sendirian.

Sang putri jelas tau siapa dalang dibalik kematian dayang milik selir Ellina tersebut, akan tetapi tidak ada sedikitpun niat untuk menghalangi salah satu rencana mereka untuk saling mengancam, meskipun membahayakan nyawa manusia lainnya sekalipun. Rora tidak cukup acuh!

Rora berbalik, hendak meninggalkan tempat setelah dirasa sudah selesai memperhatikan apa yang telah terjadi sehingga rasa penasarannya tertuntaskan.

Namun sebuah kesialan terjadi, tepat setelah dirinya berbalik, tanpa sengaja Rora menginjak gaunnya sendiri sehingga membuat keseimbangannya tidak bisa terjaga. Hampir saja tubuhnya memeluk mesra lantai koridor, tempat dimana ia berdiri jika saja sebuah tubuh tidak menghalau.

Rora terdiam sejenak, mencoba mencerna apa yang telah terjadi. Ia masih terkejut hingga tidak bergerak untuk beberapa saat.

"Kau merasa nyaman dengan pelukannya?."

Sebuah suara rendah nan lirih yang bertanya kepadanya berhasil menyadarkan Rora, mengembalikan kewarasan diri yang sempat dirampas paksa oleh keterkejutan.

Bukannya segera melepas pelukan, Rora justru menengadah untuk melihat dengan jelas tubuh siapa gerangan telah menjadi penolongnya sehingga dirinya tidak sampai terjatuh.

Tanpa bisa dicegah, kedua mata mereka bertabrakan. Menciptakan atmosfer tersendiri agar tidak ada seorangpun yang bisa mengganggu. Keduanya masih setia berpelukan, tanpa ada yang berminat melepaskan lebih dulu.

Saling memuji dalam keterdiaman melalui tatapan yang dalam, menahan nafas entah karena gugup atau menyadari suatu hal yang seharusnya tidak terjadi. Siapapun yang melihat pasti sudah dapat menduga akhir kisah dari keduanya.

"Seharusnya kau lebih hati-hati tuan putri!."

Kembali suara penyelamat Rora terdengar, kali ini sungguh membuatnya sadar dan melepaskan pelukan serta menjauh beberapa senti untuk menghindari keburukan lainnya yang mungkin saja terjadi.

"Jaga bicaramu! Jika yang mulia raja mengetahuinya kau pasti sudah dihukum!."

"Well.. Apakah itu caramu berterima kasih? Cukup unik. Tidak ingin membiarkanku terkena hukuman karena sikap kurang ajarku. Menarik!."

Rora menatap kesal penolongnya tersebut, pria yang seharusnya tidak muncul lagi dalam hidupnya dan pria yang sejatinya harus dihindari, tapi siapa yang akan mengira jika mereka bisa bertemu lagi dalam keadaan yang sedikit canggung?

Dengan Rora yang hampir terjatuh dan dialah yang menjadi penyelamatnya. Sama sekali tidak Rora harapkan dan sungguh memalukan!.

"Aku baru menyadari jika sikapmu sejak kemarin benar-benar tidak sopan padaku! Bahasamu juga tidak formal dan itu melanggar aturan."

"Waw.. Kau baru menyadarinya? Bukankah itu artinya kita bisa menjadi teman dekat?."

"Aku tidak butuh teman. Terima kasih." Ucap Rora kemudian berbalik pergi begitu saja.

"Sayang sekali nona manis, jiwa Ezra yang ini tidak mengenal kata menyerah." Ujarnya lirih setelah tersenyum miring begitu Rora pergi.





































Senin, 14 Oktober 2024
08.56 WIB.
1102 KATA.

Sang Panglima Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang