Bagian Kedua Belas

28 2 0
                                    

Gerimis lirih tidak menghalangi para prajurit pemberani dari kerajaan Alterion untuk terus beroperasi guna mengamankan wilayah kekuasaan.

Meski banyak diantara mereka yang tengah bergurau, mengobrol satu sama lain, dan melakukan aktifitas lainnya, mereka masih dalam mode siap siaga jika nantinya ada sesuatu yang terjadi.

Meskipun ada prajurit yang senantiasa bertugas untuk menjaga sekitar karena sistem pergantian waktu yang mereka dapat, hal itu tidak membuat prajurit lainnya lengah, justru mereka selalu waspada terhadap segala hal sekecil apapun jika terlihat mencurigakan.

Suasana di perkemahan kemiliteran itu terlihat damai seperti biasa, tidak ada tanda-tanda akan terjadinya kekacauan. Namun tidak ada yang pernah tau apa yang terjadi dalam satu detik setelahnya.

Seperti sekarang ini misal, seorang berpakaian prajurit khas kerajaan Alterion terlihat sedang berjalan dengan kepalanya menunduk dan penuh kehati-hatian. Jika ia berpapasan dengan prajurit lainnya ia akan bersikap biasa seolah memang benar bahwa ia merupakan bagian dari mereka kemudian berkata.

"Aku prajurit baru, maaf jika sikap ku sedikit pemalu." Setelahnya ia akan terbebas dan dengan mudah melanjutkan perjalanan tanpa hambatan.

Pria itu mengendap, berjalan dengan lebih hati-hati sembari melihat sekeliling ketika sampai pada tenda paling besar disana. Tenda milik panglima utama. Kemudian memasukinya saat dirasa keadaan sudah aman dan tidak ada orang yang memperhatikan.

Senyumnya tersungging kala melihat panglima kerajaan Alterion yang terkenal humoris namun disegani banyak orang itu tengah tertidur diatas pembaringannya. Ia jelas tau jika tidur sang panglima tidak sepenuhnya nyenyak, dan mungkin akan segera tau kedatangannya, tapi ia mengambil resiko hanya untuk melancarkan aksinya.

Kembali ia mengendap perlahan, meminimalisir bunyi dari langkah kaki yang terbalut dengan sepatu khas prajurit. Begitu jarak semakin dekat dengan target, ia segera mengambil balok kayu yang tergeletak begitu saja disana, entah apa fungsinya balok itu didalam tenda panglima. Penyusup itu sama sekali tidak peduli, tugasnya hanya untuk menghabisi nyawa sang pemimpin pasukan kemudian kabur sejauh mungkin agar tidak tertangkap.

Tanpa berfikir panjang, ia segera mengarahkan balok kayu tersebut tepat ke wajah sang panglima. Seakan amarah telah menguasai dirinya entah karena sebab apa hingga membuatnya begitu berambisi untuk menghilangkan nyawanya.

Seakan menyadari bahaya, sang panglima segera membuka matanya pada detik itu juga, ia terkejut bukan main saat ada balok kayu yang melayang menuju kearahnya, dengan reflek yang cepat, ia segera menghindar.

Namun sayang, pergerakannya kalah cepat dengan balok kayu yang penyusup itu ayunkan, bahkan baru disadari jika ia salah mengambil langkah. Sang panglima membalikkan tubuhnya kearah yang berlawanan dengan penyusup, tanpa bisa dicegah, balok kayu itu berhasil mengenai belakang kepalanya dengan hantaman keras.

Sang panglima menjerit kuat, bukan karena sakit yang sepenuhnya ia rasakan, ia hanya berusaha untuk memanggil pasukannya dan menginformasikan bahwa perkemahan mereka sukses dimasuki musuh dan sekarang tengah mengincar nyawanya.

Sang penyusup tersenyum miring penuh kepuasan, kondisi panglima yang baru saja bangun tidur dan segera mendapatkan pukulan keras di kepalanya itu membuatnya sulit untuk beradaptasi. Ia memegangi belakang kepala yang rasanya akan pecah. Tidak lama kemudian, ia jatuh dan tidak sadarkan diri.

Kejadiannya begitu cepat, reflek yang biasanya selalu datang disaat genting untuk kali ini entah kemana perginya, atau mungkin karena ia terlalu nyenyak saat meraih mimpi tadi.

Yang jelas panglima merasa menyesal dan teledor, selain karena penyusup itu berhasil memasuki perkemahan dan tendanya, ia juga merasa menjadi manusia bodoh karena tidak berhasil menghindari serangan. Tidur nyenyak saat sedang menjaga memang hanya mendatangkan bencana.

"Panglima apa yang... PENYUSUP! CEPAT TANGKAP DIA!." Suara prajurit terdengar menggelegar.

Belum sempat ia menyelesaikan pertanyaan mengenai apa yang terjadi setelah mendengar suara panglima dari luar, begitu melihat orang asing yang memasuki tenda panglima dengan balok kayu di tangannya ia langsung menyadari apa yang terjadi dan segera berteriak memanggil pasukan guna mengepung penyusup tersebut.

Sang penyusup memandang tajam kearah prajurit itu sejenak, ekspresinya dipenuhi amarah karena misinya telah diketahui orang lain dengan cepat. Dengan gerakan gesit, ia berusaha kabur.

Namun sayang, beberapa pasukan kerajaan Alterion sudah mulai berdatangan dan mengepung penyusup tersebut yang begitu berani memasuki area perkemahan kemiliteran.

Dia benar-benar tidak sayang dengan nyawanya, hanya untuk sebuah misi yang sudah pasti gagal, ia dengan suka rela melakukan hal bodoh dan memasrahkan diri untuk dieksekusi.

Pasukan kerajaan Alterion segera menodongkan pedang mereka masing-masing, sang penyusup hanya mampu mengangkat tangan setelah membuang balok yang ia pegang.

Dia terlihat menerima apa saja yang mungkin akan terjadi padanya, tanpa perlawanan sedikitpun, bersyukur saja dia sadar jika hanya sendirian dan pasti akan kalah dengan pasukan kerajaan yang berjumlah puluhan belum lagi dengan pedang mereka bawa.

Dia kalah telak!.

Beberapa pasukan segera mengikatnya dan membawanya keluar dari tenda panglima. Mengamankannya sebelum keputusan dan pemberian hukuman dijatuhkan. 

"Ada apa?."

"Ada penyusup berhasil masuk dan melukai panglima utama, panglima Axton."

"Sialan! Perketat penjagaan dan panggilkan tabib! Cepat!." Ujarnya marah, kemudian berjalan cepat menuju panglima utama kerajaan yang masih tidak sadarkan diri.

Axton Frederick. Panglima perang yang memang bertugas di wilayah perbatasan dengan panglima utama kerajaan yang sudah seperti ekor tikus. Mengikutinya kemana saja dirinya pergi.

Axton tentu saja bisa menyelesaikan semuanya bahkan tanpa bantuan panglima utama kerajaan itu, karena memang inilah tugasnya, dan seharusnya, tugas panglima perang berada di istana kerajaan, mengamankan keadaan seluruh bagian istana tanpa terkecuali, tapi anehnya, sang panglima itu justru memilih ikut serta bersama Axton dan membiarkan kepala prajurit yang mengambil alih tugasnya.

"Aku bosan bertugas di istana kerajaan. Hanya ada bangunan dan suasana mencekam karena perseteruan antara anak yang mulia raja, maka dari itu aku mengikuti mu disini."

Jawaban yang pernah panglima utama itu lontarkan dikala Axton bertanya mengapa ia memilih untuk mengikutinya sampai ke wilayah perbatasan. Panglima utama dari segala panglima itu memang unik dan tidak bisa ditebak.

Axton memperbaiki posisi sang panglima agar berbaring nyaman diatas pembaringan, tidak lama kemudian, kain penutup tenda terbuka dan menampakkan satu prajurit beserta seorang tabib.

"Saya sudah membawa tabib panglima."

"Cepat periksa panglima utama."

"Baik panglima Axton."

Sang tabib mendekat, memeriksa segala hal yang perlu diperiksa terkhusus bagian belakang kepala yang sempat mendapat pukulan. Ia mengamati sejenak sebelum berkata.

"Tidak ada masalah serius, karena terkejut dan mendapat serangan mendadak yang cukup keras di belakang kepalanya, membuat sang panglima pingsan."

"Benarkah?."

"Benar Panglima Axton. Panglima utama akan baik-baik saja begitu bangun nanti, mungkin hanya merasa sakit sejenak. Ketahanan tubuh panglima sangat bagus, sehingga pukulan seperti ini tidak terlalu berefek pada tubuhnya. Saya akan meracik obat untuk mengurangi efek pukulan dan meringankan rasa sakitnya."

"Baiklah. Terima kasih. Kau boleh pergi."

"Saya pamit undur diri." Sang tabib melenggang pergi untuk meracik obat. Meninggalkan Axton yang sedang menarik nafas lalu memandang kearah panglima utama dengan tatapan jengkel.

"Bukankah kau terlalu ceroboh? Beruntung saja kau tidak mati, sampai kapanpun aku tidak akan siap menggantikan posisi mu itu!." Ujarnya kesal. Tidak terlihat khawatir sama sekali, apalagi setelah mendengar penjelasan tabib.

























Kamis, 3 Oktober 2024
10.02 WIB.
1105 KATA.

Ig. Arumsr69
Tiktok. ruuum

Sang Panglima Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang