Bagian Kedua Puluh Satu

16 2 0
                                    

Pagi ini cuaca tengah sedikit bersahabat, matahari menguning cerah nan indah di ufuk timur. Embun semakin menambah kesejukan, mengantarkan rasa damai yang begitu menenangkan.

Semalam hujan kembali turun dengan deras, tapi siapa yang akan mengira jika pagi ini lebih indah dari kelihatannya?. Tidak ada yang mengetahui secara pasti kapan sesuatu yang sulit diprediksi akan terjadi, seperti hujan saja misal, meski tengah memasuki musimnya, tidak ada yang bisa menjamin jika sang mentari tidak menampakkan diri sama sekali.

Rora, tuan putri kerajaan Alterion itu menyukai segala musim yang ada, semuanya membawa manfaatnya masing-masing. Maka dari itu, kini,  yang dapat ia lakukan hanyalah pasrah jika hujan turun lagi di pagi hari, walaupun sudah banyak dari tanaman hiasnya yang layu dan mulai mati karena kelebihan asupan air.

Meski tanah sekitaran menjadi becek sebab banyaknya genangan air yang mengisi setiap lubang, itu semua tidak menghalangi seorang Rora untuk melanjutkan kegiatan paginya. Memilah bagian tumbuhan yang dirasa tidak bisa diselamatkan untuk diungsikan agar tidak mengganggu pertumbuhan tanaman yang lainnya.

"Gaun anda sudah sangat kotor tuan putri." Sang dayang berujar penuh hati-hati.

"Biarkan saja. Buang ini nanti!." Ujar Rora. Ia masih menggunting beberapa daun yang masih menempel pada batangnya karena sudah menguning dan bahkan ada yang sudah berwarna coklat.

Rora sudah sangat tau apa yang akan terjadi jika ia memutuskan untuk turun tangan langsung ke tanam belakang kediamannya. Gaun dan tubuhnya akan kotor. Daripada pelayan susah payah mencucinya, lebih baik buang saja.

"Tuan putri." Sapa seorang dayang lainnya.

"Bagiamana?."

"Putri Allane yang melakukannya."

"Suka sekali dia mencari keributan. Mengatasnamakan ibunya? Anak tidak tau diri!."

Yah.. Rora masih kesal dengan kiriman kue dua hari yang lalu, racun berbentuk kue itu membuatnya semakin yakin untuk menyingkirkan parasit yang hanya bisa merusak lingkungan sehatnya.

"Lalu Xaviera?."

"Rencana balas dendamnya berhasil, salah satu dayang putri Allane tewas, putri Xaviera sengaja memberikan peringatan terlebih dahulu kepada putri Allane."

"Xaviera cukup cerdik."

"Bagaimana dengan selir Helena?."

"Selir Helena masih mencari taktik yang tepat untuk menjebak selir Ellina tuan putri." Jelas dayang.

"Baiklah. Ada lagi?."

"Pangeran Alarick akan kembali besok."

"Alarick? Ku rasa dia hanya ingin berkeluh kesah lalu kembali melanjutkan perjalanan panjangnya. Baiklah, hanya itu?."

"Iya tuan putri."

"Siapkan baju ganti untukku!."

"Baik tuan putri."

Rora kembali melanjutkan kegiatannya, kali ini ia memetik beberapa bunga mawar dan juga tanaman vanila yang masih bisa diselamatkan kemudian memasukkan kedalam keranjang dan menyerahkannya kepada sang pelayan.

"Cuci ini, aku akan membuat minyak wangi nanti."

"Baik tuan putri."

"Sayang sekali kalian mati sia-sia seperti ini, ada baiknya jika ku manfaatkan lebih dulu."

Rora mengamati taman miliknya, meski banyak tumbuhan yang sehat dan masih bisa bertahan ditengah gempuran air hujan, akan tetapi Rora sangat tau jika dibiarkan, semua tanamannya akan mati begitu saja sebelum ia manfaatkan dengan baik.

Sang Panglima Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang