Bagian Keenam Belas

21 2 0
                                    

"Aw. Sshh.."

Desisan Rora terdengar, menghentikan kegiatannya yang sedang merangkai manik-manik untuk dijadikannya sebuah gelang. Jarinya tertusuk jarum yang sedang ia gunakan, secara otomatis ia mengemut jarinya sendiri guna mengisap darahnya agar lekas berhenti.

"Tu... Ada apa tuan putri?." Sapaan dayang Rora tidak berlanjut, lebih mementingkan kondisi Rora yang sedang memakan jarinya sendiri dibarengi dengan berwajah kesakitan.

"Tidak apa-apa, hanya tertusuk jarum." Jawab Rora, menyudahi isapannya. "Ada apa?."

"Putri Xaviera sudah berhasil menangkap dalangnya dan saat ini sedang merencanakan pembalasan." Ujarnya menjelaskan.

"Sudah ku duga, cepat atau lambat Xaviera pasti akan segera bertindak. Bukan dari kita yang membocorkannya kan?." Tanya Rora. Ia kembali melanjutkan membuat gelang.

"Bukan tuan putri."

"Bagus. Jangan urusi permainan mereka terlalu dalam, cukup tau saja dan tetap diam." Ujar Rora.

"Baik tuan putri."

"Ada lagi?."

"Selir Aila mengirim anda kue, sudah saya letakkan diatas meja ruang tamu tuan putri."

"Hm? Selir Aila?." Tanya Rora memastikan, kini perhatian sepenuhnya ia tujukan kearah dayang.

"Benar tuan putri."

"Ada apa gerangan dia mengirim kue?."

"Saya tidak tau pastinya tuan putri."

"Pastikan lagi, jika aman bawa kemari."

"Baik tuan putri." Ujar dayang patuh, berbalik pergi guna melaksanakan tugasnya.

Rora melamun untuk beberapa saat, seakan masih tidak percaya jika selir Aila memberikan suatu hal kepadanya. Selir Aila memang baik dan perhatian, hanya saja untuk memberikannya sesuatu apalagi yang sedikit merepotkan seperti itu rasanya Rora agak tidak menyangka.

"Tuan putri." Panggilan dayang berhasil membuyarkan fokus Rora sehingga sang putri menghadapkan wajahnya pada sang dayang.

"Bagaimana?."

"Berbahaya. Ada racun yang cukup kuat didalamnya, jika seseorang mengkonsumsinya kemungkinan besar akan berdampak pada sistem pernapasan dan mengakibatkan kelumpuhan."

Wajah Rora berubah marah setelah sebelumnya merasa terkejut dengan penjelasan dayangnya.

"Siapa yang memberinya padamu?."

"Seorang pelayan biasa tuan putri."

"Singkirkan racun itu dan usut sampai tuntas! Aku sedikit tidak yakin jika selir Aila yang memberikannya, apalagi hanya pelayan biasa yang memberikannya." Ujar Rora tegas. Tidak perlu menyebut bahwa itu adalah kue sebab sudah jelas jika didalamnya mengandung racun. Racun berbentuk kue. Sangat licik.

"Baik tuan putri." Dayang kembali berbalik meninggalkan Rora yang masih menahan segala emosinya untuk memenuhi perintah sang tuan putri.

"Apa aku terlalu bersikap biasa sampai mereka menganggap remeh diriku?! Padahal sudah jelas jika aku tidak berminat menjadi pemimpin negeri ini, bisa-bisanya mereka masih ingin mencelakai ku!."

Rora menutup matanya rapat-rapat, menggenggam telapak tangannya sendiri dengan kuat. Tidak ada alasan yang lebih masuk akal lagi untuk mereka yang berniat jahat kepada Rora selain karena perebutan kekuasaan.

"Manusia rakus ini, jika saja aku ingin, sudah dari lama aku memusnahkan mereka dengan sangat mudah." Ujar Rora.

Ia masih memiliki belas kasihan meski Rora sendiri tidak yakin akan sampai mana dia mampu bertahan dengan kesabarannya dan berakhir bertindak diluar batas kemanusiaan. Seperti yang mereka lakukan padanya.

Rora menghela nafasnya pelan, mengusir segala hal negatif yang sejak tadi menggerayangi jiwa serta otaknya agar membalas apa yang mereka lakukan kepadanya. Tapi untuk saat ini, ia memilih untuk tidak menggubris bentuk ancaman mereka, dan lebih memilih untuk kembali melanjutkan aktivitasnya yaitu membuat gelang manik-manik.

Siang hari itu terasa panas namun tidak terlalu terik, matahari yang beberapa kali tertutup awan membuat suhu udara tidak menentu, musim hujan masih menjadi penguasa sehingga udara menjadi lebih sejuk dari biasanya.

Kediaman Rora, terkhusus bagian kamarnya terlihat begitu damai. Keterdiaman begitu dominan dan ketenangan memenuhi setiap sudut ruang. Membawa fokus untuk Rora sehingga amarah sang tuan putri berangsur mereda.

"Apa aku bunuh saja salah satu diantara mereka, agar mereka tidak lagi berbuat macam-macam?." Monolog Rora. Tangannya masih merangkai manik-manik dan mengikat-ikat benang menjadi sebuah simpul yang cukup rumit.

"Mereka benar-benar merepotkan dan selalu menguji kesabaranku." Ujar Rora seraya menarik benang sekuat tenaga hingga terputus.

Ia memperhatikan karyanya. Dua gelang dengan warna hitam dan merah muda, entah kenapa ia ingin membuat gelang pasangan. Bukankah lucu? Rora sama sekali tidak berminat menjalin hubungan dengan pria manapun, tapi ia membuat gelang yang bisa dipakai oleh sepasang kekasih.

"Tuan putri."

Rora menyudahi kegiatannya yang sedang memperhatikan gelang yang telah usai ia buat, salah satu dayangnya menyapa setelah menunduk penuh hormat. Hormat yang khas dari anggota organisasi bayangan, memegang bahu kiri dengan tangan kanan lalu membungkuk sejenak.

"Ada apa dayang?."

"Selir Helena sedang melancarkan aksinya untuk mencelakai selir Ellina." Lapornya.

Rora tersenyum. Senyuman biasa yang ia tunjukkan ketika senang. Begitu manis hingga siapapun akan mengira jika ia sedang merasa bahagia karena hal biasa seperti manusia pada umumnya tanpa tau apa yang ada didalam dirinya.

"Bagus. Jika perlu permudah saja."

Sang dayang sedikit terkejut dengan ucapan Rora, sebab tidak biasanya sang putri akan ikut campur dengan urusan anggota keluarga kerajaan, dan dayang tersebut sangat tau jika tuan putrinya sedang dalam suasana hati yang tidak bisa dikatakan baik-baik saja.

"Baik tuan putri." Ujar dayang, tanpa bertanya lebih lanjut meski ia cukup penasaran.

"Hati-hati."

"Baik tuan putri. Saya undur diri." Rora hanya bergumam, kemudian mengalihkan pandangannya keluar jendela dengan ekspresi datar. Kembali awan kelabu menghiasi langit yang semula biru itu, pertanda bahwa nanti pasti akan turun hujan lagi.

"Apakah seharusnya aku melakukan ini dari dulu? Rasanya sedikit menyenangkan bisa melihat seseorang yang kau benci celaka nantinya."

Rora bangkit dari duduknya, ia berjalan menuju lemari pakaian kemudian membuka pintunya. Rora mengambil sebuah kotak kayu kecil dengan ukiran mawar dibagian atasnya, ia membuka kotak tersebut hingga memperlihatkan isi didalamnya. Sebuah sapu tangan putih dengan bunga mawar yang ia buat sendiri, tersimpan rapih disana.

Rora memasukkan dua gelang buatannya kedalam kotak, menyimpannya rapih dan dengan penuh kehati-hatian juga kelembutan membelainya seakan benda-benda tersebut akan pecah dan menjadi kepingan kecil jika diperlakukan kasar sedikit saja.

"Bagaimana aku harus bersikap kepada mereka setelah ini? Bahkan bukan hanya kali ini saja mereka berniat mencelakai ku."

"Apa aku harus mulai bergerak dan menyusun rencana untuk membunuh mereka semua. Rasanya akan sangat sia-sia jika hanya melukai mereka saja."

Rora menutup kotak tersebut, kemudian meletakkan kembali ke tempat asal, tidak lupa menutup lemarinya lagi. Ia berjalan kearah jendela dan duduk disana. Memandang keatas langit yang menjadi semakin gelap, beberapa kali petir dengan suara tidak terlalu keras terdengar. Hari ini akan kembali hujan.

Rora beralih menatap jari telunjuknya yang sempat terkena jarum, disana tidak terlihat sama sekali jika ia pernah tertusuk beberapa saat lalu. Meski begitu perihnya tetap terasa walaupun lirih.

"Sejak tadi perasaan ku tidak enak."






































Ahad, 6 Oktober 2024
13.47 WIB.
1046 KATA.

Sang Panglima Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang