Bagian 40

174 22 1
                                    

Alister menatap dua wanita yang sedang sibuk berada di dapur membuat makan siang bersama. Karin, entah angin darimana perempuan itu datang pagi-pagi sekali ke rumahnya dengan membawa banyak bahan masakan. Tentu saja Ibunya menyambut dengan suka cita. Karena mempunyai anak perempuan adalah mimpi Ibunya. Maka dari itu Karin amat disayang oleh perempuan itu. Alister segera berpindah menuju kamarnya begitu pesan dari Adnan masuk.

"Gimana Koas kamu, Nak?" tanya Lia sambil memotong ayam. Selama di rumah sakit dia tidak sempat berbincang mengenai anak gadis itu.

"Lancar, Bu. Tapi Karin jadi makin sibuk, jarang ada waktu. Apalagi sama Kak Ali" jawab Karin sambil mencuci sayuran di wastafel.

"Kamu harus semangat buat kejar cita-cita kamu" jawab Lia.

Karin tersenyum tapi juga menekuk wajahnya, "Iya sih, cuma Karin takut Kak Ali bosen sama Karin. Soalnya Karin sibuk jarang banget ada waktu buat Kak Ali" keluh Karin.

Lia diam beberapa saat, merasa bersalah karena menyembunyikan fakta yang cukup besar dari Karin. Membiarkan anaknya berbuat tak baik pada perempuan sebaik Karin. Dia memilih menutupi dan tidak ikut campur karena posisi Adnan dan Karin yang memang masih bersaudara. Juga, dia tak punya kemampuan lebih selain daripada menasehati anaknya sendiri. Dia tau betul Karin yang baik dan pengertian. Tapi disisi lain, dia juga bisa melihat bahwa Adnan memperlakukan Alister dengan teramat baik. Dia tak pernah mendengar suara tertawa Alister sekeras pada saat bersama Adnan. Bersama Adnan, dia yakin bahwa anaknya merasakan bahagia yang sebenarnya. Apalagi mata Alister yang selalu menatap Adnan dengan penuh cinta dan puja. Mata yang tidak pernah dia lihat ketika Alister bersama Karin.

"Tapi Karin yakin kalo Kak Ali ngga mungkin begitu!" ujar perempuan itu yakin. Karin tersenyum pada Lia yang menatapnya dengan senyum tipis.

"Ayah sama Ibu sehat, Nak?" tanya Lia mengalihkan topik. Semakin dibahas dia semakin merasakan rasa bersalah itu dalam dadanya.

"Sehat, Bu. Ayah masih sibuk kerja walaupun nggak sesibuk Mas Adnan sama Kakek. Ibu juga sibuk bisnis sama Arisan" jelas Karin. Terkadang dia merasakan sepi dalam hidupnya karena semua orang sibuk dengan urusan masing-masing.

"Kamu sama Juan—"

"Kita ngga sedarah, Bu" potong Karin. Dia tersenyum canggung menatap Lia. Fakta yang memang selama ini tidak dia buka pada siapapun kecuali Alister.

"Kita beda Ibu. Karin dibawa sama Ayah ke rumah itu waktu Mas Adnan sama Karin masih kecil" tambah Karin.

Lia yang sedang memotong sayur itu berhenti. Dia diam menunduk. Menunggu Karin selesai dengan ceritanya.

"Maaf Karin ngga terus terang dari awal—" ucapnya menyesal.

Lia menaikkan tatapannya, tersenyum menenangkan, "Ngga perlu minta maaf, Nak. Karin ngga salah" ucapnya.

"Karin selalu ngerasa kesepian sama hidup Karin sendiri. Ayah ngga sehangat sebelum Mas Adnan ke luar negeri. Kalo Ibu, Ibu pendiam sama kayak Mas Adnan. Tapi Karin selalu sungkan sama beliau. Karin ngerasa kalo Ibu ngga pernah nerima Karin di rumah itu, tapi juga ngga terang-terangan ngusir Karin—" Karin tersenyum miris, otaknya memutar banyak kejadian-kejadian di masa lalu yang membuatnya hampir menyerah. Kesepian yang dia terima sungguh membuatnya putus asa.

"Mas Adnan—" Lia bisa melihat senyum tulus dari Karin ketika menyebut lelaki itu, "Mas Adnan baik sama Karin. Walau diem-diem, Mas Adnan selalu nanyain kabar Karin. Bahkan mastiin kalo Karin ngga kekurangan apapun lewat Kak Danu. Kak Danu yang selalu nemenin Karin atas suruhan dari Mas Adnan—" ucap Karin tulus, "Karin sayang banget sama Mas Adnan. Walaupun Mas Adnan ngga sepenuhnya terima Karin, tapi Mas Adnan ngga pernah jahat ke Karin" sambungnya lagi.

everything, in time. Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang