Bagian 12

272 47 30
                                    

Tubuh Alister meliuk kesana kemari dengan spatula di tangan, bergerak lincah pada penggorengan didepannya. Mulutnya bergumam mengikuti irama musik dari headphone-nya. Tubuhnya bahkan masih bermandi keringat, kaosnya yang basah sehabis lari pagi mengelilingi kampung belum sempat ia ganti.

Beginilah setiap pagi milik Alister. Dia akan bangun pagi-pagi sekali untuk membantu Ibunya membereskan rumah walau sekedar menyiram tanaman. Lalu akan pergi lari pagi mengelilingi kampung bermodalkan sepatu olahraga seharga 500 ribu yang sudah 2 tahun ini menemaninya berolahraga. Dia memang memilik untuk jogging karena hanya itulah olahraga yang tidak membutuhkan biaya. Sayang kiranya dia harus mengeluarkan uang ratusan ribu untuk pergi ke gym hanya demi olahraga.

"Ibu lihat-lihat beberapa minggu ini kamu sering masak agak banyak. Ibu juga nemuin dua kotak makan kamu" ucap Lia dari arah belakang.

Alister yang memang tak pernah keras memutar musik itu masih mendengar ucapan Lia dan melepaskan benda bulat dari telinganya.

"Oh, iya Bu"

"Kamu bawa buat siapa? Karin?" tanya Lia memastikan.

Alister diam sebentar, "Buat Juan" ucapnya. Mereka memang sudah mempunyai jadwal tetap makan siang bersama beberapa hari ini. Awalnya, dia hanya membuatkan bekal sehari tetapi ternyata Juan menyukai masakannya, dan lelaki itu memintanya memasak lagi keesokan harinya. Mereka sepakat, dengan syarat Adnan tak boleh membayarnya. Anggap saja lelaki itu sudah membayar uang muka pada saat memberikan uang pada Pras, Ayahnya. Jadilah, setiap pagi dia akan membuat 2 bekal untuk makan siang mereka. Walaupun Alister juga bingung karena lauk mereka tinggal terakhir hari ini.

"Ibu kira buat Karin" ucap Lia, dia mengambil duduk di kursinya bersiap memakan sarapan mereka.

Berbicara tentang Karin, perempuan itu tak akan mau makan makanan sederhana seperti ini. Minimal dia harus membawa karin ke Cafe dengan harga empat puluh hingga lima puluh ribu permenu. Berbeda dengan Adnan yang akan memakan apa saja tanpa pilah pilih.

Alister yang sudah siap dengan masakannya segera duduk di tempatnya. Dia menyendokkan nasi dan lauk ke atas piring Ibunya, lalu beralih pada miliknya sendiri.

"Al, hubungan kamu gimana sama Karin?" tanya Lia.

Entah karena apa, mendengar nama Karin disebut membuatnya merasa bersalah, "Baik, Bu"

"Dia udah jarang main kesini" ucap Lia. Padahal dia ingin sekali dekat dengan calon memantu satu-satunya. Tapi perempuan itu tak pernah main ke rumah sejak pertunangan mereka.

"Dia sibuk, Bu. Sekarang masih praktik tiap hari di Rumah Sakit" jelas Alister. Mereka memang jarang bertemu karena kesibukan keduanya yang sulit mendapat waktu untuk bertemu.

"Kurang berapa tahun lagi sekolahnya?"

"2 Tahunan"

"Kalo bisa begitu lulus kalian menikah"

Ucapan Lia sukses membuat Alister membeku. Menikah, keraguan itu semakin merambat kedalam hati dan jiwanya. Entah sejak kapan, menikahi Karin menjadi hal yang berat untuk dia lakukan. Bahkan dia tak lagi memikirkan kearah sana. Toh juga 2 tahun adalah waktu yang lama.

"Kenapa kamu seperti ragu begitu, Al?"

Alister menaikkan tatapannya kepada Lia. Wanita itu jelas heran melihat dirinya membantu.

"Terus terang, sekarang Ali ngerasa berat, Bu-" ucap Alister.

"Alister, jangan main-main. Kamu udah minta Karin ke keluarganya. Jaminannya nama baik keluarga mereka loh" ucap Lia tak suka.

"Justru karena itu, Bu. Ibu liat sendiri keluarga mereka? keluarga O'Niel terlalu susah untuk di masuki" ucap Alister pelan. Dia masih mengingat bagaimana mereka berdua datang ke rumah bak istana itu seperti gelandangan. Sangat jauh jika dibandingkan dengan keluarga O'Niel yang menggunakan baju bagus dengan barang-barang mahal sebagai aksesoris.

everything, in time. Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang