DEVINO 29

379 41 1
                                    

🐰

Acara berakhir setelah kekacauan Yang dilakukan oleh Vano, saat ini mereka tengah berkumpul di ruang keluarga, Henru sangat murka dengan apa yang dilakukan oleh Vano tadi.

"Vano apa yang kamu lakukan, kamu tau karena kamu perusahaan kita rugi besar?"ucap sang Daddy murka.

Vano hanya menatap keluarganya dingin, ini baru awal, ia akan membuat perusahaan ayahnya itu hancur tak bersisa, yah anggap saja itu karma mereka.

"Pergi ke kamarmu dan renungi kesalahanmu"ucap Henru.

Bukannya berjalan ke kamar, Vano malah berjalan ke arah pintu keluar, ia sudah muak di sini.

"VANO MAU KEMANA KAMU"

"VANO"

"Lihat, lihat kelakuan anakmu itu"ucap Henru kepada sang istri.

"Semua gara-gara anak sialan itu, sudah di usir pun masih tetep menyusahkan"ucap Sintia

Brakk

"SIALAN"sarkas Henru dengan menendang meja di depannya sampai terbalik.

Disisi lain Vano kini baru saja sampai di ruang rawat milik sang adik.

"Belum mau bangun juga, gak mau ketemu Abang?"ucap Vano memandang ke arah Vino yang masih setia memejamkan matanya.

"Adek tau hari ini Abang baru aja bikin tua Bangka itu kesal, harusnya adek disana lihat ekspresi kesal mereka" ucap Vano di akhiri dengan kekehan.

"Bangun ya, katanya mau ke Pantai, Abang udah nyiapin Villa loh dipantai biar kita bisa tinggal disana berdua"tambah Vano lagi.

"Cepet sembuh ya jangan bikin Abang khawatir" ucap Vano lagi, tidak ada jawaban dari Vino hanya ada suara EKG yang terus trdengan seiringan dengan deru nafas milik Vino yang terlihat berat.

🐰

Dua bulan berlalu, belum juga ada tanda-tanda Vino akan sadar, selama dua bulan ini Vano sudah membabi buta menghancurkan orang-orang yang menyakiti adiknya.

Baik itu kedua orangtuanya ataupun Oma dan opanya semua tak ada yang lepas dari dendamnya.

"Makan dulu Van"

Vano mendongak menatap sang Abang sepupu, rambut miliknya yang acak-acakan kantung mata yang menghitam seakan dapat mendefinisikan bagaiman kacaunya Vano selama 2 bulan ini.

"Makan dulu, Vino pasti bakal baik-baik aja"ucap Davian menatap Vino yang masih setia memejamkan mata di ranjang pesakitannya.

"Nanti aja bang"ucap Vano masih setia duduk memandangi Vino.

"Makan terus pulang istirahat lah, Vino gak bakal seneng kalo dia bangun ngeliat keadaan Lo sekacau ini"dengan helaan nafas Vano akhirnya menuruti ucapan sang Abang sepupu.

"Cepet bangun dek, lihat gimana kacaunya Kembaranmu itu"ucap Davian mengelus surai hitam milik Vino.

Langit di luar mulai menggelap ketika Vano akhirnya memutuskan untuk pulang sejenak. Setelah berhari-hari berada di rumah sakit, ia tahu bahwa tubuhnya memerlukan istirahat, meski hatinya terus menolak untuk beranjak dari sisi adiknya.

Namun, desakan Abang sepupunya membuatnya sadar, betapa pun ia ingin terus berjaga, tubuh yang lelah hanya akan membuatnya jatuh sakit.

Dengan langkah berat, Vano meninggalkan ruangan yang telah menjadi tempatnya bermalam selama ini. Hatinya tertinggal di sana, bersama tubuh adiknya yang terbaring koma.

Saat melangkah keluar dari rumah sakit, angin malam yang dingin menyambutnya, menggigit kulit dan menembus pakaian tipisnya. Namun, Vano bahkan tak menggigil, rasa letih yang menyelimuti tubuhnya sudah terlalu dalam untuk merasakan hal-hal semacam itu.

Ketika ia sampai di Mension yang sudah lama tak disentuh, suasana sepi menyergapnya. Melepas sepatunya dengan lesu, ia berjalan perlahan menuju kamar mandi.

Air dari pancuran mulai mengalir deras, memercikkan butiran-butiran dingin di kulitnya. Vano berdiri di bawahnya, membiarkan air mengguyur wajahnya, mencoba menghapus segala penat dan rasa sakit yang menumpuk di hatinya. Matanya terpejam rapat, seolah berharap air itu bisa membersihkan bukan hanya tubuh, tetapi juga pikirannya yang dipenuhi kecemasan.

Namun, sekeras apa pun Vano mencoba, bayangan adiknya yang terbaring tak bergerak di ranjang rumah sakit selalu kembali, membayangi benaknya seperti hantu yang tak mau pergi.

Selesai mandi, Vano menatap cermin yang buram oleh uap. Wajah yang kembali menatapnya adalah wajah yang terlihat jauh lebih tua dari umurnya. Mata cekung, rambut acak-acakan, dan kulit pucat tanpa semangat hidup.

Vano hampir tak mengenali dirinya sendiri. Hanya dengan susah payah ia memaksa diri untuk tersenyum tipis, meski itu terlihat lebih mirip seperti cermin yang retak daripada ekspresi bahagia.

Setelah mengenakan pakaian bersih, Vano duduk di sofa. Ruangan itu terasa dingin dan hampa, tidak ada suara selain detik jam yang menggema seperti ketukan pelan di kepalanya. Ia mencoba makan sesuatu, tapi selera makannya sudah lama hilang, tertelan oleh kekhawatiran yang tak pernah mereda.

Satu-satunya yang bisa Vano lakukan hanyalah duduk dalam kesunyian, menatap ponsel di genggamannya, berharap ada kabar baik dari rumah sakit, meskipun ia tahu itu jarang terjadi pada jam-jam seperti ini.

Dengan napas berat, Vano akhirnya menyerah pada lelah yang terus menumpuk. Tapi ketika kepalanya menyentuh bantal, yang bisa ia pikirkan hanyalah bagaimana rasanya kembali ke sisi adiknya.

Rumah ini mungkin memberinya kesempatan untuk membersihkan diri, tapi di rumah sakit itulah hatinya tertambat. Maka, meski tubuhnya di sini, jiwanya tetap menunggu di samping ranjang adiknya, berharap suatu saat akan ada senyuman yang kembali menghiasi wajah adiknya yang kini tertidur dalam keheningan yang mencekam.



~notqueen_1~



Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Nov 09 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

DEVINOTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang