Gita menatap bayangannya di cermin, wajah pucatnya tidak lagi memiliki cahaya yang dulu sering. dipuji teman-temannya. Pagi ini, seperti biasa, ia harus memulai hari dengan tumpukan tugas sekolah dan pekerjaan rumah yang harus diselesaikan. Tidak ada ruang untuk keluhan, tidak ada tempat untuk air mata. Dia sudah terbiasa. Atau setidaknya, dia memaksa dirinya untuk terbiasa.
Suara teriakan ayahnya dari ruang tamu menggema di seluruh rumah. Pria itu lagi-lagi pulang dalam keadaan mabuk, membentak ibunya tanpa alasan yang jelas. Gita mengepalkan tangannya erat, berusaha menahan gemuruh di dadanya. Setiap kata kasar, setiap hinaan, bagai pisau yang menorehkan luka baru di hatinya.
"Dengar, Gita! Jangan jadi anak bodoh yang seperti ibumu!' suara ayahnya menusuk dari balik pintu kamarnya. "Kau harus lebih pintar, kalau tidak, kau juga akan jadi sampah seperti dia!"
Dia menggigit bibir bawahnya, menahan amarah yang terus membuncah. Hatinya penuh dengan kebencian, tapi tidak ada yang bisa dia lakukan. Setiap kali mencoba melawan, dia hanya mendapat tamparan atau pukulan keras sebagai balasan. Ayahnya selalu punya alasan untuk menyalahkan- entah Gita tidak cukup pintar, tidak cukup patuh, atau hanya sekadar menjadi alasan untuk melampiaskan kekesalannya.
Ibunya, wanita yang dulu penuh kehangatan, kini hanya bayangan dari dirinya yang dulu. Wajahnya selalu tertunduk, matanya selalu sembab. Tidak ada lagi tawa, tidak ada lagi pelukan yang menenangkan. Ibunya menjadi sosok yang lemah, tak berdaya dibawah kendali suami yang kejam.
Suatu malam, saat rumah sunyi karena ayahnya tertidur setelah pesta minuman keras yang panjang, Gita memberanikan diri berbicara pada ibunya. "Ma, kenapa kita terus bertahan? Kenapa Mama nggak pernah melawan?"
Ibunya hanya tersenyum pahit, seolah jawaban itu terlalu rumit untuk diucapkan. "Kamu belum mengerti, Gita. Ini bukan semudah yang kamu pikirkan."
Gita menahan napas, tenggelam dalam perasaan marah dan kecewa. la merasa ibunya menyerah terlalu cepat. Tapi siapa dia yang bisa menghakimi? Dia sendiri pun terlalu takut untuk kabur, terlalu takut untuk memulai hidup baru tanpa arah. Semakin hari, beban di pundaknya semakin berat. Gita mulai membenci.sekolah, membenci kehidupan yang dia jalani. Dia sering kali berpikir untuk pergi, meninggalkan semuanya. Tapi ke mana? Dunia di luar sana terasa lebih menakutkan daripada neraka yang dia tinggali.Sampai suatu malam yang mengubah segalanya.Malam itu, suara teriakan lebih keras dari biasanya. Gita mendengar
benda pecah, diikuti dengan suara Jeritan Ibunya. Tanpa berpikir panjang, la berlari keluar kamar. Pemandangan yang ia lihat di ruang tamu membekukan darahnya.
Ayahnya berdiri dengan botol bir di tangan, wajah merah karena marah dan mabuk. Ibunya tergeletak di lantai, memegangi perutnya yang berdarah.
Gita tidak tahu harus berbuat apa. Dunianya berputar. Segala ketakutan dan amarah yang selama ini ia tahan, akhirnya meledak. Dia mengambil vas bunga yang ada di meja dan tanpa ragu, memukul kepala ayahnya dengan sekuat tenaga.
Brak!
Ayahnya terhuyung-huyung, botol ditangannya jatuh ke lantai. Gita tidak berhenti. Dia memukul lagi dan lagi, sampai tubuh besar itu jatuh tersungkur. Nafasnya memburu, tangannya bergetar. Apa yang baru saja dia lakukan?
Matanya beralih ke ibunya yang masih tergeletak di lantai, "Ma! Ma, bangun!" Gita mengguncang tubuh ibunya, tapi tidak ada respons.Tubuh ibunya dingin, terlalu dingin.Tangisnya pecah, menggema di ruangan yang tiba-tiba terasa terlalu sunyi. Gita tahu hidupnya tidak akan pernah sama lagi. Dalam satu. malam, ia kehilangan segalanya. Keberanian yang ia kumpulkan ternyata datang terlambat.
Malam itu, suara sirine polisi menggantikan ketenangan malam. Tetangga yang mendengar kegaduhan melaporkan kejadian tersebut, dan Gita hanya bisa pasrah saat dia dibawa pergi. Di dalam hatinya, satu pertanyaan terus bergema: Apakah ini semua salahku?
Tapi jawaban itu tak pernah datang. Tepat seperti hatinya yang hancur, masa depannya kini remuk, terserak seperti kepingan kaca.
KAMU SEDANG MEMBACA
Aku Ingin Pulang
Genç KurguSejak kecil, Gita sudah terbiasa hidup dalam ketakutan. Rumah yang seharusnya menjadi tempat berlindung, berubah menjadi medan perang. Setiap malam, teriakan ayahnya yang mabuk menggema di dinding, mengiris hatinya seperti sembilu. Ibu yang dulu pen...