38 | Ça Va Aller

531 62 11
                                    

7 hari sebelum penaburan bunga di laut ...

Lontar, Serang.

Katanya, perempuan itu ditemukan oleh nelayan sekitar karena tersangkut di bebatuan pesisir pantai mangrove. Kondisinya begitu mengenaskan, pakaian compang-camping meninggalkan luka sobekan cukup besar di punggung, kaki, tangan dan kepala. Badannya pucat, beruntung dia masih bernapas meski terasa lemah. Begitu ditemukan dirinya langsung dibawa ke puskesmas dan diberi pertolongan.

Beritanya menyebar ke satu kampung kalau ada orang hanyut karena badai semalam. Namun perlahan surut setelah dua hari kemudian, bersamaan dengan perempuan itu yang berhasil sadar walau tubuhnya belum benar-benar pulih.

Kalau kata dokter di puskesmas, dia mengalami syok dan gegar otak ringan. Pasalnya sejak dia siuman dia belum mau berbicara sepatah kata pun. Makan pun selalu dimuntahkan, sehingga terpaksa harus diinfus.

Hari berikutnya, para nakes mencoba untuk bertanya namanya. Namun balasannya hanya membuang muka dan menatap kosong langit-langit ruangan persis seperti orang linglung. Hari berikutnya, dia mulai bisa menelan bubur sehingga infus di tangannya dicabut.

Keesokannya, perempuan itu akhirnya mau bicara—walau hanya pada salah satu nakes wanita berusia 40 tahunan. Katanya, namanya Nirmala. Dia tidak mengatakan detail tentang namanya. Bahkan saat diajak bicara lebih lanjut dia justru mengeluh sakit kepala sampai berujung memuntahkan kembali makanannya. Sejak saat itu, sementara dia tidak boleh diajak bicara terlebih dahulu.

Beberapa orang di rumah sakit menerka-nerka jika Nirmala-Nirmala ini orang kota. Entah bisa Serang, Cilegon, Tangerang atau mungkin Jakarta. Melihat penampilannya yang memiliki rambut merah gelap, memiliki tindik banyak di daun telinga serta hidung, persis seperti orang-orang kota pada umumnya.

“Bu.”

Pagi itu saat Nirmala terbangun dia menyapa Bu Rukmini. Salah satu nakes yang cukup dekat dengannya.

“Iya, Nong. Kenapa?” tanyanya.

Nirmala mengangkat tangan kirinya. Melihat sejenak jemarinya. “Ibu lihat cincin saya?”

Bu Rukmini terdiam. Menatap tangan kiri cewek itu sejenak, lalu tersenyum manis. “Ibu gak lihat, Nong. Mungkin cincin yang Nong maksud nggak sengaja hanyut kebawa air.”

Hanyut? Memangnya dia kenapa?

Nirmala mengerutkan keningnya. Entah kenapa rasanya sulit sekali untuk mengingat apa yang terjadi padanya. Kenapa dia bisa ada di sini? Rasanya tidak mungkin Nirmala tinggal di kampung ini. Di mana keluarganya? Mama, Papa, Sania, Devi, dan ...

“Akhh!” Nirmala meringis. Akhir-akhir ini dia suka mendadak sakit kepala setiap kali mencoba untuk mengingat dan berpikir.

Bu Rukmini langsung sigap menuangkan air hangat, dan memberikan padanya.

“Kata dokter, Nong kayaknya kena gejala geger otak ringan. Jadi mungkin itu alasan nong suka sakit kepala bahkan sampai mual dan muntah-muntah.”

Mendengarnya Nirmala dibuat terdiam. “Tapi ... Tadi Ibu bilang aku hanyut, itu ...”

Wanita itu tersenyum. “Iya. Sekitar seminggu yang lalu, nelayan nemu Nong terdampar di pesisir.”

Tiba-tiba saja kenangan abu-abu muncul di kepalanya. Namun yang dia ingat jelas adalah suara ombak dari bawah laut. “Ini ... Saya ada di mana, Bu?” Akhirnya pertanyaan itu muncul dari bibir Nirmala. Meski kepalanya nyaris ingin pecah, namun dia paksakan untuk bertanya.

“Di Lontar, Nong.”

Lontar.

Lontar.

Lontar?

JellyfishTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang