31. The Wind Blows

57 1 0
                                    

  Sore itu, di kampus yang perlahan mulai sepi, Raina duduk sendirian di bangku tunggu, menatap mahasiswa yang berlalu lalang di hadapannya. Waktu menunjukkan pukul 5 sore, dan sejak pukul 8 pagi tadi, ia sudah memulai hari yang panjang dengan magang. Seperti hari-hari sebelumnya, setelah menyelesaikan jam magangnya, ia langsung menuju kampus untuk melanjutkan kegiatan akademis. Rutinitas ini telah menjadi bagian dari kesehariannya—padat, namun penuh tujuan.

Saat matanya mengikuti langkah-langkah adik-adik tingkat yang melintas, senyuman kecil terlukis di wajahnya. Mereka mengingatkannya pada masa-masa awal kuliahnya, ketika semuanya terasa begitu baru dan penuh harapan. Kini, semuanya berubah. Raina dan teman-temannya dulu selalu bersama, tetapi sekarang mereka masing-masing tenggelam dalam kesibukan yang berbeda. Hidup terus berjalan, dan Raina semakin sibuk dengan dunianya sendiri. Dalam harapnya ia juga bermohon, harap pundaknya kuat untuk semuanya serta dimudahkan untuk segala hal serta dimenangkan untuk setiap apapun.

Namun di balik semua itu, ada satu hal yang membuat Raina merasa lebih tenang—Dewangga. Meski kesibukan telah memisahkannya dari banyak teman-temannya, Dewangga selalu ada di sampingnya, memberikan dukungan tanpa henti. Raina bersyukur untuk itu. Di saat ia merasa sendirian, Dewangga selalu menjadi tempatnya berpulang, seseorang yang selalu hadir, bahkan dalam keheningan sore di kampus ini.

Kampus yang dulu selalu ramai kini mulai lengang. Mahasiswa bergantian menuju kelas malam, yang kini menjadi waktunya Raina. Ia menarik napas dalam-dalam, menatap sudut-sudut kampus yang penuh kenangan. Meski banyak hal telah berubah, ada satu yang tetap sama—hubungannya dengan Dewangga yang terus memberikan kekuatan di tengah kesibukannya.

Raina memasuki ruang kelasnya, matanya terarah pada 2 bangku di sebelahnya, biasanya Ayu dan Riska selalu sampai duluan dari pada dirinya. Pasti ke dua temannya itu sedang berada di jalan, pikir Raina.

  "Anjir akhirnya nyampe!"

Baru saja Raina mendudukkan dirinya, Ayu dan Riska sudah muncul di depan pintu kelas dengan napas terengah-engah.

  “Secape-capenya MBKM lebih capek magang asli.... mo metong rasanya,” ujar Ayu, masih berusaha mengatur napasnya, sambil menyandarkan tubuhnya ke ambang pintu. Senyumnya yang khas tetap terlihat meski ia tampak lelah.

Raina tersenyum kecil, menggeleng pelan. "Semangat untuk kita para pembuat ide kreatif teknologi!" Katanya, sambil menatap temannya yang sudah mendudukkan diri dengan ekspresi lega.

Raina menatap ke dua temannya itu dengan senyum tipis serta mata yang penuh beribu kata, 'bertemu mereka walau sebentar seperti menambah energi untuk hari yang penuh lelah ini' Raina mengembangkan senyumnya sambil memeluk Ayu dan Riska dengan tiba-tiba.

  "KANGENNYAAAAAAAA!" Seru Raina makin memper-erat pelukannya, sedangkan Ayu dan Riska hanya pasrah diperlakukan seperti itu pada Raina, memang kebiasaan Raina sejak dulu tidak pernah berubah.

  Beberapa waktu berlalu dengan perlahan, seiring detik jarum jam yang tak kenal lelah bergerak. Raina menatap jam dinding yang kini menunjukkan pukul sepuluh malam. Mata kuliah yang panjang akhirnya selesai. Perasaan lega menyelimutinya, seolah seluruh beban yang ia pikul hari itu sirna seketika. Yang terlintas di pikirannya hanyalah satu: kasur empuk di rumah, tempat ia bisa melepas segala lelah.

Raina bergegas keluar dari kelas, menyusuri lorong kampus yang sudah mulai sepi. Saat langkahnya mencapai parkiran, ia melihat sosok yang begitu ia kenal. Dewangga sudah berdiri di sana, dengan senyum yang mengembang di wajahnya. Mata Dewangga tampak cerah, menyiratkan rasa tenang saat melihat Raina muncul di antara cahaya lampu parkiran yang redup.

Raina jadi teringat tentang persahabatan DARMARAJA, pancaran mata ini sama seperti Dewangga menatap Raka, Rendi, Zaka, Erlangga, yang akhirnya bisa bersatu lagi. Tatapan yang penuh dengan keajaiban dan ketidakmenyangkanya bisa melihat sahabat-sahabatnya itu akur kembali.

Dewangga menatap gadisnya, menatap tak menyangka bahwa gadis mungilnya itu lebih dari pikirannya sendiri, gadisnya yang begitu tangguh dan berani untuk mengambil keputusan merencanakan semuanya untuk persahabatannya yaitu DARMARAJA bersatu kembali dari permusuhan yang tidak ada akhirnya.

Gadisnya yaitu Raina, adalah sosok dibalik hubungan persahabatan itu kembali lagi. “Capek, ya?” tanya Dewangga lembut, masih dengan senyum yang tak pudar.

Raina hanya tersenyum lemah, tapi dalam senyumnya tersirat rasa hangat. Meski tubuhnya lelah, kehadiran Dewangga selalu berhasil membuatnya merasa lebih ringan. Rasanya seperti dunia tak lagi terlalu berat untuk dihadapi, Dewangga adalah obat yang berbentuk manusia untuk terapi energi di dalam dirinya.

  "Semoga selalu bertemu pada setiap episode dalam kehidupan yang tidak pernah ada habisnya, Ngga. Menceritakan tentang dirimu tidak akan pernah ada habisnya, Ngga. Semoga selalu abadi untuk waktu yang lama dan selamanya."

 
END


 

RAIN IN THE DARKNIGHT [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang