Selepas berkumandangnya adzan yang menggema di seluruh penjuru dunia, setelah beres melaksanakan kewajibannya. Abil kembali berbaring hingga tak sadarkan diri. Jika bukan Reyzio yang rajin membantu, mungkin Abil sudah terlelap tanpa melepas mukenanya.
Bergerak seinci pun rasanya berat, intinya tak nyaman di rasa. Kepala pening perut bergejolak tidak karuan. Abil memilih tidur dibanding merasakan dunianya yang seolah berputar bebas.
Meski begitu, ia tetap tertidur tenang. Tak ada suara yang mengganggu sama sekali. Meskipun kedua lelaki penghuni rumahnya sedang bersinergi menguasai rumah. Yang satu memegang sapu satunya lagi menjemur baju.
Reyzio dan Reksa tidak menganut budaya patriarki. Mereka di didik mandiri sejak kecil. Membantu bunda, apalagi persoalan mengurus rumah. Sudah hal yang lumrah bagi mereka.
Perempuan beruntung itu Abil, diberikan suami yang pengertian serta ipar yang rajin.
Lihatlah keadaan lantai yang cemerlang, aksi Reksa diberi kedua ibu jari oleh kakaknya. "Bagus, mas liat mbak mu dulu ya." Katanya.
"Mbak sakit ya mas?"
"Kayanya iya."
"Telpon aja papahnya, kan dokter." Usul Reksa membuat Reyzio menghela nafas.
"Udah mas telpon, tapi katanya untuk sakit mbak yang ini ngga bisa ditangani papah."
"Terus?"
"Mas ngga tau, nanti tunggu dokter datang ke sini agak siangan."
Reyzio berlalu meninggalkan adiknya yang penuh tanya. Tiada habisnya merespon Eksa, lebih baik memastikan istrinya masih terlelap dengan tenang.
Untuk kali ini dugaannya tidak tepat, Reyzio terperanjat melihat istrinya tengah bersandar sembari melempar senyum. Bahkan ia sudah memastikan tak ada riuh suara yang berpotensi mengganggu sang istri, namun mengapa Abil bangun?
"Mas.." tangan si wanita menyusup ke antara kedua tangan suaminya. Ia memeluk Reyzio, menghirup rakus aroma khas dari tubuh si lelaki.
"I love you mas Zio." Ucapnya membuat manik Reyzio membeku.
"I love you more, sayang." Reyzio mengeratkan dekapan. "Suara mas sama Eksa ganggu kamu ya, maaf sayang." Reyzio sungguh menyesali perbuatannya, meskipun Abil tak berterus terang mengapa ia bangun.
Suaminya itu mengangkat tangan, mengecek suhu tubuh Abil, khawatir tiba-tiba demam. Untungnya Abil baik-baik saja, bahkan terlihat lebih baik dari semalam.
"Aku ngga marah sama sekali denger suara kamu sama Eksa, aku justru terharu karena kalian berdua. Makasih ya mas" Ia menenggelamkan wajah lagi di dada suaminya. Entahlah, rasanya benar-benar bersyukur hidup dengan para lelaki yang pengertian tanpa di arahkan.
"Sama-sama sayang, sayangnya mas mau sarapan?"
"Sarapan?" Abil bahkan tak menyangka seorang Reyzio sudah menyiapkan sarapan sepagi ini.
"Bukan masakan enak seperti yang kamu buat, tapi ini sarapan versi mas yang simpel."
Sarapan simpel versi Reyzio itu adalah rebusan ubi, telur, jagung. Serta ia siapkan bubur yang dibuat di dalam mejikom. Pagi pagi sekali sudah sibuk di dapur, meski tak pandai memasak. Setidaknya ada makanan yang disajikan untuk pagi ini. Karena itulah kebiasaan sang istri, bedanya, masakan istrinya selalu enak dan Reyzio belum mampu memasak seperti itu.
Reyzio meninggalkan Abil sejenak, untuk kembali membawa nampan berisian sarapan simpel yang siap disajikan.
"Mas hari ini ngga ke studio?" Abil mencomot bagian putih telur rebus lalu memakannya. "Enak, aku makan putih-putih nya aja ya mas."

KAMU SEDANG MEMBACA
Seni mengeja duka
Lãng mạnBagi seorang pria dewasa, kabar duka lima tahun lalu membuatnya takut kehilangan lagi. Pun bagi gadis manis yang merasa satu tahun ini teramat lama prosesnya untuk menamatkan sebuah cerita kesedihan. Lalu bagaimana jika semesta mempertemukan keduany...