bab 13

201 21 3
                                    

Suara desir angin lembut menerpa dataran yang kini dipenuhi jejak kehancuran,banyak asap mengepul dari sisa sisa kayu yang terbakar.

Tubuh naga api yang baru saja dikalahkan tergeletak di tanah, masih memancarkan sedikit panas dari sisa-sisa energi yang belum sepenuhnya menghilang.

Sisik merahnya berkilauan di bawah sinar matahari senja, keras dan tebal seperti baja, membuat setiap sentuhan menghasilkan suara gesekan berat.

Itami dan timnya sudah dua jam bergelut dengan bangkai raksasa itu, mencoba memotong dan menguliti bagian-bagian yang paling berharga.

Meski mereka tidak tahu pasti untuk apa, gadis elf berambut biru itu dengan jelas memerintahkan mereka: kumpulkan sebanyak mungkin sisik dan bahan dari tubuh naga.

“Kapten, serius deh... ini bikin frustrasi,” keluh Kurata, salah satu anggota tim, sambil memegangi pisau besar yang tumpul karena terlalu sering menghantam sisik keras naga itu.

Wajahnya kusut, penuh keringat, dan kesal. “Kenapa kulit naga ini sekeras batu? Ini kayak motong armor tank!”

Itami, yang sedang berjongkok di dekatnya sambil mengikatkan tali di salah satu bagian cakar naga, hanya bisa tertawa lelah.

“Kurata, ini drop item dari monster boss, mana mungkin gampang dipotong?” candanya, berusaha menghibur sekaligus menenangkan anak buahnya.

Kurata mendengus, memandang frustrasi ke arah tangan dan pisaunya yang tak berguna. "Kalau begini terus, kita bisa di sini sampai pagi. Pedang atau pisau biasa nggak akan bisa motong sisik kayak gini."

Di dekat mereka, Tenzu dan Kuhawara juga sibuk bekerja—atau setidaknya berusaha terlihat sibuk.

Tenzu, yang terkenal paling teliti dalam tim, berjuang keras menguliti bagian perut naga, di mana sisiknya sedikit lebih lunak.

Sementara itu, Kuhawara berkali-kali memaki saat tangannya terpeleset di atas permukaan licin darah naga, mengotori seragam militernya.

"Aku nggak percaya kita dijadikan tukang jagal," gumam Kuhawara sambil mengusap wajah dengan lengan baju. "Ini benar-benar di luar job kerja, Kapten."

Itami hanya bisa menghela napas panjang. Dia sendiri juga merasa pekerjaan ini melelahkan, tetapi pilihan apa yang mereka punya? Mereka semua masih hidup berkat gadis misterius itu—seorang elf yang baru saja mengalahkan seekor naga api seolah-olah itu bukan apa-apa.

Menolak perintahnya? Itu bukan opsi, bukan kalau mereka ingin terus bernapas.

Ia melirik ke arah bukit kecil di dekat sana, tempat sang elf berambut biru tengah duduk santai di atas batu besar, menikmati pemandangan seolah-olah ini hanyalah hari biasa baginya.

Rambut birunya yang panjang berkilauan diterpa angin, sementara matanya yang berwarna emas berkilau seperti bintang malam.

Meski tampak anggun dan damai, Itami tahu persis betapa berbahayanya perempuan itu. Satu langkah salah di dekatnya, dan nyawa mereka bisa lenyap dalam sekejap.

Saat gadis itu turun menghampiri mereka setelah membunuh naga, ia langsung memerintahkan mereka keluar dari persembunyian.

Itami dan timnya pada awalnya ragu untuk menurut, tetapi tatapan mata elf itu—dingin dan penuh kekuatan—membuat mereka sadar bahwa menolak bukanlah pilihan yang cerdas.

Tak ada satu pun dari mereka yang berani menolak panggilan tersebut. Meski tanpa ancaman langsung, mereka tahu benar bahwa jika gadis itu marah, nasib mereka tak akan lebih baik dari naga api yang tergeletak sekarang.

Tensura x gate Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang