8. Toko

23 7 4
                                    

RUSWER adalah kota kecil di Alaska yang membenci kebisingan. Jade nyaris bisa mendengar suara detak jantungnya ketika dia berdiri menantang angin di tengah-tengah ladang jagung yang menghampar, atau mendengarkan bunyi kelereng yang menggelinding di lintasan pejalan kaki pusat kota. Jumlah penduduknya hanya setengah kali jumlah penduduk di Palmer; tidak sampai lima ribu orang―data itu memberi bukti tentang betapa sepi dan hikmatnya kota ini. Dan karena sebagian besar wilayahnya masih tertutup ladang dan hutan-hutan, udara di Ruswer terasa berkali lipat bersih dan sejuk.

Saat Jade mengajak Cordelia ke toko terdekat untuk membeli bahan makanan, ada sesuatu yang membuatnya ragu tentang kebengisan Cordelia sebelum ini. Gadis itu terlihat polos―nyaris penasaran sekaligus terpana ketika memandangi luasnya ladang yang menguning dan deretan rumah yang berjajar di kejauhan. 

“Apa yang kau pikirkan?” Pertanyaan Jade membuat Cordelia berpaling dalam sekejap.

“Tempat ini terasa familier,” kata Cordelia. “Bangunan rumahnya tak asing buatku. Apa negeri ini tidak banyak berubah setelah tiga ratus tahun lamanya?” 

Jade mengikuti arah pandang Cordelia. Arsitektur di Ruswer memang masih bergaya federal, kebanyakan merupakan peninggalan bangunan kolonial era abad pertengahan dengan atap-atap berbentuk pelana, dan fasad yang dibangun dari bata merah. “Bangunan di Ruswer memang tidak banyak berubah, tapi kalau pergi ke New York, akan beda lagi. Di sana banyak gedung pencakar langit.” 

“Gedung pencakar langit?”

“Artinya gedung yang tingginya menjulang ke langit.”

“Yang seperti itu benar-benar ada?” Cordelia merapatkan diri dan terlihat lebih penasaran. Namun Jade, yang masih diliputi kewaspadaan, pelan-pelan beringsut ke samping untuk menjaga jarak. 

“Ya. Ada berbagai macam bentuk bangunan yang unik. Amerika mulai membangun gedung-gedung tinggi di akhir abad ke-18.” 

“Seratus tahun setelah aku lahir,” kata Cordelia. 

“Tidak semenarik kelihatannya. Tingkat kejahatan di sana juga tinggi.” Jade berbelok ke tikungan yang sepi dan dinaungi pepohonan. Dari kejauhan sini, pertokoan mulai kelihatan. Sementara Cordelia mengikutinya bak burung gagak kecil. “Kau hampir tidak bisa melangkah dengan aman di sana saking banyaknya insiden kriminal yang terjadi. Ibuku meninggal karena terkena serangan tembak yang dilakukan orang asing di jalanan.” 

“Jadi, kau dan ibumu tinggal di New York sebelumnya?”

“Tidak. Sebelumnya aku tinggal di Palmer. Saat itu kami pergi ke New York untuk menghadiri undangan seminar di NYU. Ibuku seorang dosen dan difabel, jadi aku menemaninya. Di perjalanan menuju kampus, tiba-tiba ada penembakan masal yang dilakukan sekelompok orang. Salah satu peluru mengenai perut ibuku―membuatnya kritis, sampai akhirnya meninggal.” 

Penjelasan itu meninggalkan denyut menyakitkan di dada Jade, tetapi di saat bersamaan membuatnya kebingungan. Mengapa mulutnya sembrono melontarkan cerita menyedihkan itu? 

“Aku turut berduka,” kata Cordelia, menatap mata Jade lekat-lekat. “Aku bisa membaca penderitaan di hatimu.”

“Tidak, ayolah,” Jade mengibaskan tangan di udara dengan jengkel. “Jangan sedikit-sedikit membaca perasaanku. Memangnya kau ini tidak mengerti privasi?” 

“Aku terbiasa jujur dengan isi pikiranku.”

“Itu tidak memberimu alasan untuk seenaknya membocorkan isi hati orang lain.” 

“Baiklah.” 

Kemudian mereka masuk ke toko bahan makanan dan berbelanja kebutuhan untuk satu minggu berikutnya. Sesuai dugaan Jade, rupanya Cordelia punya rasa ingin tahu yang tinggi. Namun, dia tidak bersikap seperti bocah bawel yang menghujani Jade dengan pertanyaan tidak penting mengenai nama sesuatu yang dibelinya, atau mengomentari pengunjung toko yang jelas memberikan tatapan melongo ketika menatap Cordelia yang super mencolok. Gadis itu memilih diam sambil menatap objek yang menarik perhatian, dan―seperti yang sudah-sudah―tahu-tahu saja Jade sudah berdiri di sisinya seraya menjelaskan panjang lebar. 

𝐀 𝐋𝐀𝐃𝐘 𝐈𝐍 𝐓𝐇𝐄 𝐏𝐀𝐈𝐍𝐓𝐈𝐍𝐆 Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang