8 Juli, dua hari kemudian.
JADE baru saja menerima secangkir kopi susu ketika kursi di depannya tahu-tahu terisi. Seorang pria muda jangkung yang berbusana kasual-formal tersenyum menatapnya dari balik kacamata hitam yang dikenakan.
“Maaf membuat Anda menunggu lama,” kata Caspian, melepas kacamata dengan gerakan anggun. Sorot mata birunya yang serupa es terpaku di antara kening Jade.
“Tenang saja. Baru kopi kedua yang saya pesan.” Jade membalasnya dengan sindiran halus, dan Caspian tertawa sopan mendengar hal itu.
“Astaga, maafkan saya. Saat datang kemari, mobil saya tiba-tiba mogok, jadi harus menelepon bengkel dan menunggu sedikit lama.”
“Tidak apa-apa, sebenarnya kafe ini tidak membosankan. Selama menunggu Anda, saya disuguhi banyak pelancong cantik yang berseliweran.”
Caspian membalas kalimat itu dengan seringai bersekongkol, lalu Jade menanggapinya dengan cengiran tipis. “Yeah, di Ruswer memang banyak pelancong jelita. Nah, bagaimana kalau mulai sekarang kita berbicara dengan santai saja? Karena kau sudah kuanggap rekan dan teman yang sehati, mungkin aku bisa memanggilmu dengan hanya nama?”
“Tidak masalah.”
Kemudian mereka memulai pertemuan dengan membahas beberapa barang antik yang dibutuhkan Caspian. Pria itu mengajukan beberapa nama artefak yang mungkin bisa diikutkan untuk acara lelang bulan depan. Saat percakapan mereka meregang, dan topik telah berubah menjadi pembahasan mengenai rutinitas dan hobi Caspian (ternyata pria ini memiliki hobi melakukan olahraga ekstrem yang berhubungan dengan ketinggian dan kedalaman tertentu―terjun payung, scuba, dan juga sea diving), Jade akhirnya memancingnya dengan pertanyaan yang dibawanya sejak semalam.
“Caspian, waktu itu aku pernah bertanya padamu tentang sesuatu,” lalu Jade merogoh kalung di dalam jaketnya dan menunjukkannya pada Caspian. “Tentang kalung rubi ini. Apa kira-kira kau tahu asal-usulnya?”
“Ya, ya, tentu aku tahu.” Caspian meminta kalung itu dengan gerakan sopan dan lembut, kemudian menatap sejenak. Dalam jeda waktu itu, Jade diam-diam memperhatikan bagaimana sorot Caspian ketika memeriksa setiap sentimeter kalung. Cahaya dari luar kafe memunculkan kemilau samar pada bandul rubinya yang semerah darah. Kemilau itu terefleksi pada mata Caspian, sehingga dia tampak mendamba.
“Indah sekali,” kalimat dari Caspian barusan menegaskan penilaian Jade. “Ini batu rubi yang indah, dan sangat langka.”
“Jadi, kau tahu kalung ini?”
“Dibuat sekitar abad 1700 oleh seorang seniman terkenal―Adrian Benvilloni. Tidak salah lagi. Kau melihat ukiran emas yang mencengkeram kedua sisi liontinnya? Ini perhiasannya yang paling terkenal.”
“Aku tidak begitu bisa menilai seni. Bagiku benda itu terlihat … yeah, indah saja.”
“Aku tahu, Jade. Maka simpan informasi ini baik-baik. Nama kalung ini adalah Liontin Evangeline.”
“Liontin Evangeline?”
“Ya. Benvilloni membuatkan kalung ini untuk putrinya Evangeline. Aku tidak tahu siapa nama putrinya, karena belum ada literatur sejarah yang pernah mencatat namanya. Kabarnya memang anaknya keburu meninggal sebelum lahir di dunia ini.”
Berita itu menghunus Jade dengan semacam perasaan berdebar yang aneh. Kalau apa yang dikatakan Caspian benar, bukankah ada kemungkinan bila putri Evangeline yang dimaksud itu adalah Cordelia? Lantas mengapa tidak ada referensi sejarah yang mencatat nama Cordelia? Apakah dia memang diberitakan mati di dalam kandungan?
Memikirkan kemungkinan-kemungkinan ini membuat Jade gelisah sekaligus penasaran. Tanpa sadar, pemuda itu mengetuk-ngetukkan kaki di bawah meja.
“Kau tahu dari mana informasi itu, Cas?” tanyanya. “Seharian kemarin aku mencari di internet, tapi tidak menemukan apa-apa. Bahkan nama Evangeline saja tidak muncul.”
KAMU SEDANG MEMBACA
𝐀 𝐋𝐀𝐃𝐘 𝐈𝐍 𝐓𝐇𝐄 𝐏𝐀𝐈𝐍𝐓𝐈𝐍𝐆
VampireSetelah terbebas dari penjara, Jade mendapat telepon dari seorang notaris yang mengatakan bahwa kakeknya baru-baru ini telah meninggal dan mewariskan sebuah rumah besar kepadanya. Saat Jade menyetujui menjadi ahli waris, dia datang ke rumah milik s...