“NAMANYA abare.”
Kata itu digaungkan Caspian begitu dalam dan lirih, seperti merapal mantra kuno yang magis. Sementara ekspresinya menyatakan kesuraman seorang pendeta yang tertegun menyebut kata larangan. Barangkali hanya Jade saja yang suka menduga-duga, tetapi dia tidak mengada-ada melihat adanya kekhawatiran di wajah Caspian.
“Kau tahu … abare?” Jade menggumam lirih.
“Mereka dipercaya sebagai monster yang mendiami Ruswer, sama seperti wendigo yang mendiami Kanada, atau antropophagi yang mendiami Afrika. Orang-orang di sini menyebut mereka menyerupai vampir―bertubuh manusia, memiliki paras rupawan, berkulit putih pucat, tapi setiap malam mereka berburu darah manusia.”
Aneh rasanya mendengar penjelasan itu dari mulut seorang Caspian Pelleanore yang ketampanannya mungkin bisa menjadi tanda-tanda pengenalan abare itu sendiri. Namun, Jade pikir hal itu tidak mungkin. Bukan menilai berlebihan. Dia memang memikat, tetapi ketampanannya tidak bersifat klasik dan misterius seperti Cordelia.
“Dari mana abare ini muncul?”
“Itu cerita turun temurun yang lestari di Ruswer. Terjalin lewat berbagi versi dan tipe dongeng yang dikemas sesuai karakter masyarakatnya. Namun semua akarnya sama; di abad pertengahan dulu Ruswer sempat diduduki oleh masyarakat benua Eropa Utara. Di wilayah itu pernah ada mitos … tentang bangsa makhluk pengisap darah yang hendak kabur dari perang dan menyeberangi benua, tetapi mereka mendapat bencana karena diseret gelombang tsunami di Laut Hitam. Orang-orang di Ruswer percaya bahwa para abare yang selamat dari bencana, telah bersembunyi di kota ini selama ratusan tahun lamanya.”
“Ratusan tahun lamanya? Tapi bukankah pembunuhannya baru terjadi belakangan ini?” kata Jade. “Kau bilang, dalam dua tahun belakangan, sudah ada sekitar dua belas korban tewas.”
“Ya, itu memang benar. Sebab itulah banyak masyarakat sekarang yang mulai paranoid dan mengaitkan situasi mengkhawatirkan ini dengan kebangkitan abare dari zaman abad pertengahan. Sebelumnya kota ini memang aman-aman saja.”
“Tidak ada yang menjelaskan tentang alasan mereka bangkit atau apa pun?”
“Teka-tekinya belum lengkap.”
Jade mengangguk. Kini benaknya diliputi keterkejutan luar biasa tentang asal-usul abare. Sekarang dia mengerti bahwa Cordelia barangkali adalah salah satu mitos hidup yang diceritakan oleh Caspian. Hanya saja masih banyak pertanyaan tentang gadis itu yang belum terkuak―tentang lukisannya, tentang sejarah Liontin Evangeline, dan tentang hubungannya dengan keluarga Walthrop Bailey. Namun di antara banyaknya pertanyaan yang Jade jeritkan, rasa gelisahnya bercokol pada satu rahasia besar; kenyataan bahwa di Ruswer, masih ada abare lain yang bersembunyi entah di mana.
Lagi-lagi renungannya terpotong dengan gerak-gerik Caspian.
“Nah, sekarang kenapa kau diam saja? Buka, buka pintunya.” Caspian membujuk Jade untuk turun dari mobil.
-oOo-
“Selamat datang di rumahku, Jade.”
Suara Caspian lantang terdengar di seantero langit-langit tinggi yang dinaungi lampu kristal megah. Definisi rumah orang kaya sesungguhnya―bergaya futuristik, tetapi mengadopsi estetika klasik dari rancangannya yang simetrikal dan rumit. Jade menyusuri lantai marmer yang mengilat, diam-diam mematut bayangannya yang terpantul jelas di permukaan lantai. Benaknya berpikir kotor tentang nasib para wanita yang mengenakan rok pendek dan ikut menapaki tempat ini.
“Kau bilang tadi mau mengajakku berkeliling. Kenapa malah membawaku ke rumahmu?” tanya Jade seraya menatap Caspian yang menggeluyur pergi ke konter bar. Jade mengikutinya sembari menyapu pandang dekorasi ruangan, yang dari hasil penyelidikannya, rupanya dicekik oleh nuansa kolektor artefak akut; di setiap sudut, di sepanjang dinding, ada benda-benda asing yang sepertinya mengundang pertanyaan di benak Jade karena bentuk dan rupanya yang unik.

KAMU SEDANG MEMBACA
𝐀 𝐋𝐀𝐃𝐘 𝐈𝐍 𝐓𝐇𝐄 𝐏𝐀𝐈𝐍𝐓𝐈𝐍𝐆
Vampire⭐ AKAN SEGERA PINDAH KE KARYAKARSA ⭐ Setelah terbebas dari penjara, Jade mendapat telepon dari seorang notaris yang mengatakan bahwa kakeknya baru-baru ini telah meninggal dan mewariskan sebuah rumah besar kepadanya. Saat Jade menyetujui menjadi ah...