JADE melihatnya. Belati itu.
Sabetannya pasti akan merobek leher kalau saja Jade terlambat melangkah mundur sejengkal. Caspian tidak memberi waktu untuk berpikir. Pria itu menyerang lagi dengan brutal, tetapi Jade menghindar lagi dengan gesit.
“Apa yang sedang kau lakukan!” sembur Jade seraya melompat ke kanan, menghindari sabetan berikutnya yang melayang tepat di dekat kepala. Tanpa merespons pertanyaannya, Caspian mengejar Jade seraya membuat gerakan menyabet dan menusuk bertubi-tubi. Semuanya dapat ditangkis Jade dengan mulus, tetapi dia berkejaran dengan waktu untuk berspekulasi tentang keanehan ini. Mengapa Caspian tahu-tahu ingin membunuhnya?
Gelombang panik membuat otaknya buntu untuk berpikir. Jantungnya berdebar-debar lantaran dia tahu nasibnya akan tamat.
Cepat, cepat, cepat pergi dari tempat ini!
Lantas Jade berlari naik ke tangga dan hendak membuka pintu di ujung lorong.
Sialnya, terkunci.
Berengsek.
“Cas, berhenti!” Jade berputar. Gang tangga yang sempit membuat gerakannya amat terbatas. “Berhenti atau aku akan melukaimu!”
Namun Caspian seakan tuli. Wajahnya mendongak, terpaku pada Jade yang menatapnya terguncang. Ujung belati menyuruk ke depan, seakan membidik dada Jade. Seandainya kacamata hitam itu tidak terpasang di wajah Caspian, barangkali Jade bisa membaca jelas rautnya….
Ketika Caspian hendak melesakkan belati kristal ke dada Jade, pemuda itu mengambil risiko untuk melucuti kacamatanya. Jade memekik ketika lengannya tergores mata belati, tetapi jemarinya tetap meraup gagang dan menariknya hingga patah. Kacamata Caspian terpelanting jatuh. Di saat itulah Jade terperenyak.
Iris mata Caspian yang semula sebiru es, kini berubah semerah darah.
Dalam sekejap, Caspian berubah ganas; belati itu diayunkan ke atas seolah hendak menghunjam Jade yang kini berada tepat di hadapannya.
Tidak ada cara lain!
Spontan, Jade menabrakkan diri pada tubuh Caspian dan memasrahkan dirinya jatuh bergulingan bersama pria itu sampai ke dasar tangga.
Beberapa saat kemudian, kekacauan mereda. Belati itu telah terlempar jauh entah ke mana, sementara kedua orang itu sama-sama tergeletak dengan posisi bertumpuk. Caspian yang berada di bawah Jade tidak bergerak bahkan merintih sedikit pun.
Sambil terengah, Jade mengangkat kepala dengan hati-hati. Dia menyingkir dari tubuh Caspian dan memperhatikan wajah pria itu. Kedua matanya terpejam.
Jade mengguncang kerah Caspian, lalu menampar-nampar pipinya. “Bangun, bedebah!”
Setelah beberapa kali tamparan, kelopak mata Caspian terbuka. Irisnya berubah seperti sedia kala―sebiru dan sedingin es. Mata yang menyatakan keheningan dari gelagatnya yang tidak bisa ditebak. Awalnya Jade merasa tidak nyaman menatap mata birunya, tetapi sekarang, dia merasa bersyukur. Setidaknya mata ini tidak memancarkan nafsu membunuh seperti tadi.
“Jade? Kenapa kau?”
Caspian mendorong dirinya bangkit perlahan. Seketika mengerang sambil memegangi pundaknya yang menghantam lantai. Tetapi dibandingkan kesakitan, ekspresi kebingungan lebih mendominasi. Setelah melihat sekelilingnya, Caspian menatap Jade, menuntut jawaban. “Kenapa aku berbaring di sini?”
“Kau baru saja mencoba membunuhku,” kata Jade. Darah dari lengannya yang robek merembes hingga ke lantai. Caspian menyipitkan mata.
“Kenapa lenganmu?”

KAMU SEDANG MEMBACA
𝐀 𝐋𝐀𝐃𝐘 𝐈𝐍 𝐓𝐇𝐄 𝐏𝐀𝐈𝐍𝐓𝐈𝐍𝐆
Vampire⭐ AKAN SEGERA PINDAH KE KARYAKARSA ⭐ Setelah terbebas dari penjara, Jade mendapat telepon dari seorang notaris yang mengatakan bahwa kakeknya baru-baru ini telah meninggal dan mewariskan sebuah rumah besar kepadanya. Saat Jade menyetujui menjadi ah...