CORDELIA memperhatikan Jade yang duduk agak membungkuk di ranjang. Mata hijau yang mengintip dari balik rambut cokelatnya menyiratkan selapis perasaan aneh―kegelisahan, dan ketakutan; trauma yang merusak dua tahun hidupnya yang telah disokong dengan keberanian palsu. Ayah Jade telah dibunuh dengan tangannya sendiri. Inilah jawaban yang dicari-cari Cordelia sejak dulu―alasan atas emosi aneh yang dia rasakan setiap kali menggali kedalaman masa lalu Jade, tragedi yang terkunci di balik pintu tertutup, yang tidak goyah sekalipun Cordelia mengerahkan segenap kekuatan untuk membukanya.
“Kau membunuh ayahmu?” Pertanyaan itu bergantung di langit-langit, menimbulkan getaran yang menusuk dada Jade tanpa ampun. Pemuda itu tidak bisa menyembunyikannya lagi.
“Tidak sengaja.”
“Kau membunuhnya tanpa sengaja?”
“Ya,” kata Jade. “Dia memukuliku di pinggir jalan karena mabuk berat, lalu aku mendorongnya ke jalan, di mana sebuah truk kargo tiba-tiba lewat dan melindas tubuhnya.”
Cordelia terperenyak sejenak dan tidak mampu berkata-kata. Jade meneruskan dengan suram, “Aku sempat dipenjara selama beberapa bulan dan mengikuti serangkaian sidang, tapi akhirnya bisa bebas karena apa yang kulakukan terbukti sebagai tindakan membela diri. Ayahku meninggalkan memar di dada dan perutku, sementara aku hampir tidak menyentuhnya sedikit pun kecuali sedikit dorongan yang membuatnya terjungkal di jalan.”
“Apa orang yang mabuk memang bisa melakukan hal sekejam itu?”
“Dia menjadi lebih agresif saat mabuk. Tetapi di hari-hari biasa, dia juga kasar dan sering melempar tangan.”
“Mengapa?”
“Karena dia membenci aku dan ibuku,” katanya. Saat Cordelia mengerutkan kening dengan serius, Jade memundurkan ceritanya, “Tidak, sebenarnya bukan benci. Mungkin dia pun jatuh ke depresi parah yang membuatnya kehilangan kewarasan. Setelah ibuku kecelakaan dan mengalami cacat di kakinya, bisnis ayahku bangkrut. Dia jadi tidak memiliki kendali untuk mengatur rumah tangga, sehingga hal terbaik yang bisa dilakukannya adalah meninggalkan kami berdua―aku dan ibuku, untuk hidup sendiri. Situasi tidak membaik. Ekonomi kami jatuh ke titik memprihatinkan, dan aku sempat dirudung gelisah antara ingin putus sekolah atau tidak. Kami pikir saat itu keadaan sudah tidak bisa lebih buruk lagi, tetapi rupanya insiden yang lebih mengerikan masih datang. Ayah terlibat banyak utang dengan kelompok mafia dan akhirnya menyeret ibuku lagi, padahal saat itu mereka berdua sudah cerai. Ayah selalu memiliki cara untuk menyelinap masuk ke rumah kami dan mencuri harta benda ibuku. Dia sering tiba-tiba mengamuk, menghancurkan rumah, memukuli aku dan ibuku. Aku sering melawannya, tetapi upayaku tidak cukup keras untuk membuatnya berhenti. Karena tidak tahan, akhirnya aku melaporkannya. Di penangkapan pertama, ayahku bilang dia menyesali perbuatannya dan tidak akan melakukannya lagi. Tapi ternyata dia kembali sekitar tujuh tahun kemudian, saat ibuku baru saja meninggal. Dia berbuat masalah di lokasi kerjaku―memaksaku untuk meminjaminya uang. Aku terpaksa menyeretnya pergi. Aku ingat kapan persisnya―20 Desember. Di bawah hujan salju. Ayah berusaha memukuliku di pinggir jalan dalam keadaan mabuk, dan akhirnya aku mendorongnya.”
Cerita itu meninggalkan keheningan sesaat yang muram. Cordelia memegang tangan Jade yang terhampar di selimut, meremasnya pelan. “Aku tidak tahu kalau hidupmu serumit itu.”
Jade mendengkus samar. “Kenapa, kau bilang kau bisa membaca masa laluku? Bukannya kau juga bisa menyelinap ke mimpi-mimpiku dan mencaritahu dari sana?”
“Aku memang bisa, tapi untuk hal satu itu aku kesulitan. Pintu itu tidak bisa kutembus karena kau pun tidak mengizinkan siapa pun masuk ke dalamnya.”
Jade sedikit-sedikit paham tentang maksud Cordelia. Selama ini dia memang berusaha menutupi tragedi itu, tetapi bukan berarti dia melupakannya. Masa lalu itu terlalu kelam untuk dipanggul di pundaknya sehingga satu-satunya cara yang terpikir untuk lepas dari jeratannya adalah dengan menguburnya di dasar ingatan yang gelap, tidak tersentuh, berpura-pura bahwa semua itu tidak pernah terjadi dan akan selamanya seperti itu―kondisi ekonomi yang kritis, kematian ibunya, ayahnya yang tukang pukul, dan sikap teledornya yang berujung pembunuhan.
KAMU SEDANG MEMBACA
𝐀 𝐋𝐀𝐃𝐘 𝐈𝐍 𝐓𝐇𝐄 𝐏𝐀𝐈𝐍𝐓𝐈𝐍𝐆
VampireSetelah terbebas dari penjara, Jade mendapat telepon dari seorang notaris yang mengatakan bahwa kakeknya baru-baru ini telah meninggal dan mewariskan sebuah rumah besar kepadanya. Saat Jade menyetujui menjadi ahli waris, dia datang ke rumah milik s...