BAGAIKAN dihantam bom kesadaran, reaksi Jade bekerja lebih spontan daripada akal; pemuda itu memundurkan wajah sehingga ciuman Cordelia terlepas dari bibirnya.
Kedua mata mereka terpaut. Kilat aneh yang bersemayam dalam sorot mata Cordelia yang kelam, tetapi Jade tak mampu menerjemahkan setiap tindakan serta tutur katanya yang misterius. Atas kebuntuan ini, benaknya justru mengingat kata-kata Joseph;
“Aku mewaspadainya, Jade. Dan kau juga harus hati-hati kepadanya. Dia bukan terlihat seperti orang yang tulus. Dia jelas menginginkan sesuatu darimu.”
“Jade?” Suara Cordelia terdengar sejuk dan manis, seperti permen yang dikudap di musim dingin. “Ada apa?”
“Apa kau mabuk?” Jade bukannya marah. Dia hanya merasa terlalu terkejut dengan aksi tiba-tiba ini. Apakah abare memiliki nafsu dan hasrat yang sama seperti manusia? Apakah mereka menganggap sentuhan di bibir sebagai manifestasi hasrat seksual, ataukah serupa gairah lapar seperti halnya mereka menginginkan darah?
Pertanyaan-pertanyaan itu menyesaki kepala Jade, meresahkannya. Betapa malang dirinya. Menangani wanita normal seperti Cassie saja dia tak mampu, sekarang dia harus memahami perilaku makhluk pengisap darah seperti Cordelia.
“Tidak,” Cordelia menggeleng. Dibandingkan merasa malu, Cordelia sangat ahli membuat ekspresi yang sulit ditebak. Kecupan singkat barusan semata-mata dilakukan untuk menutupi rasa tidak enak karena telah secara lancang masuk ke dalam mimpi Jade.
“Maafkan aku. Kau pasti terkejut,” kata gadis itu. Yah, andaikan Jade tahu hal buruk apa yang dilakukan Cordelia kepadanya sebelum ini, dia pasti marah besar.
“Kau menginginkan darahku?” tanya Jade. Tangan terangkat meraba leher.
“Aku tidak lapar.”
“Tidak lapar? Kau serius?” Kemudian Jade berhasil menjernihkan pikirannya kembali. Pemuda itu duduk tegak sambil mengingat-ingat sesuatu. “Aku tak pernah melihatmu makan sebelum ini, Cordelia. Lalu tadi, saat kita bertiga menonton film, aku baru menyadari kau makan keripik kentang. Apa sekarang hasrat laparmu sudah kembali?”
“Ya ….”
“Itu bagus. Kalau begitu aku tak perlu menyediakan darah untukmu, bukan?”
“Sebetulnya aku sudah meminum darahmu sebelum ini.” Cordelia memandang mata hijau Jade yang serupa lumut, menanti pemuda itu membuat reaksi murka, lalu berakhir membencinya. Namun, Jade hanya menatapnya terkejut selama beberapa saat, dengan kening mengernyit, seolah-olah tengah berusaha mengingat sesuatu. Cordelia memberinya penjelasan jujur, “Saat kau terluka, Jade, aku membawamu ke tempat tidur dan meminum darahmu di sana.”
“Kau meminum darahku…?”
“Maaf karena tidak meminta izin. Saat itu aku juga terlalu lemah.”
Jade menekan sisi lehernya dan berusaha mengumpulkan kepingan ingatan, tetapi yang dia ingat hanyalah rasa sakit yang menusuk-nusuk … mimpi yang aneh … anggur pekat berwarna merah … apa dia benar-benar larut dalam ketidaksaran sampai-sampai tak merasakan taring Cordelia yang terbenam dalam lehernya?
“Kau tidak mengingatnya karena saat itu kau tidak sadar,” kata Cordelia, seolah memahami apa yang sedang dipikirkan Jade. "Lagi pula aku tidak mengisap darah dari lehermu. Aku meminum darah yang merembes dari luka di perutmu."
Jade mengerutkan kening, tidak repot menunjukkan ekspresi mual.
"Itu tidak sakit, kan?" kata Cordelia.
“Sepertinya aku ingat rasa sakitnya.”
“Seberapa buruk?”
“Buruk sekali, tapi ... sudahlah, sekarang aku sudah tidak apa-apa.”
![](https://img.wattpad.com/cover/342258168-288-k147595.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
𝐀 𝐋𝐀𝐃𝐘 𝐈𝐍 𝐓𝐇𝐄 𝐏𝐀𝐈𝐍𝐓𝐈𝐍𝐆
Vampire⭐ AKAN SEGERA PINDAH KE KARYAKARSA ⭐ Setelah terbebas dari penjara, Jade mendapat telepon dari seorang notaris yang mengatakan bahwa kakeknya baru-baru ini telah meninggal dan mewariskan sebuah rumah besar kepadanya. Saat Jade menyetujui menjadi ah...