PEMANDANGAN itu, rasanya bagaikan deja vu bagi Jade.
Jade mengingat kengerian pertama ketika menyaksikan Cordelia memangsa isi perut anjing dengan rakus. Saat itu, jantungnya seolah mencelus keluar dari sangkar. Satu-satunya yang Jade pikirkan adalah keyakinan mutlak bahwa dirinya akan menjadi korban berikutnya.
Begitu juga dengan sekarang; ketika Jade memperhatikan kepala si pria gelandangan menggelinding di dekat kaki Cordelia, hal utama yang terbersit di pikirannya adalah kemantapan hati bahwa dia akan mati.
“Jade, aku ... aku hanya bermaksud melawan.” Cordelia berbicara patah-patah. Tungkai gadis itu mendekati Jade, tetapi sang lawan bicara justru mundur dengan waspada.
“Berhenti,” desis Jade. Wajahnya berubah pucat dan sorotnya gemetar. Goyah saat melihat darah dari perpotongan leher pria gelandangan itu merembes ke lantai, semakin lama semakin banyak, membuat tubuh buntungnya berkubang dalam darahnya sendiri. Betapa aneh menyaksikan seseorang tewas di depan, padahal baru beberapa menit lalu orang ini digerakkan dengan subtansi jiwa dan ambisi yang sama sepertinya.
Biasanya, Cordelia akan memandanginya dengan ekspresi angkuh seolah-olah apa yang dia lakukan adalah kenormalan alami seorang abare. Namun kali ini, gadis itu mematuhi perintah Jade untuk diam. Dia hanya terpaku seraya menunggu reaksi berikutnya.
“Mengapa kau melakukannya?” Jade bertanya heran. Suaranya diliputi gemetar tak wajar yang asalnya dari kepanikan dan ketakutan.
“Aku tidak bisa mengontrolnya. Semua itu ... terjadi begitu saja.” Darah menetes-netes dari ujung jari Cordelia yang berlumur darah, mengilat oleh cahaya senter. Wajah gadis itu coreng-moreng oleh cipratan darah. Sekilas tampak seperti malaikat kematian yang datang dari neraka.
“Kau membunuh manusia, Cordy,” lirih Jade. “Manusia.”
“Aku tahu, tapi aku tidak bisa melawannya. Dia membuatku marah....”
“Apa kau akan menyerangku juga?”
“Tidak.” Cordelia menggeleng. Tersirat dari sorot matanya yang kelam, perasaan sakit hati dan penyesalan. Jade bisa mencium emosi Cordelia yang mulai melunak. Kemarahan dan kebencian yang sejak tadi menggerogoti pikirannya kini terguyur habis.
Pada saat itu, alarm kewaspadaan Jade kembali; mereka harus cepat pergi dari tempat ini sebelum orang lain mencium pembunuhan tragis di dalamnya.
“Kemari,” Jade mengulurkan tangan, yang langsung disambut oleh Cordelia. Pemuda itu agak berjengit merasakan kulit Cordelia yang licin oleh darah. “Ayo pulang.”
Kemudian mereka keluar secara sembunyi-sembunyi dari bangunan terbengkalai tersebut. Jade melepas jasnya dan menyuruh Cordelia mengenakannya untuk menutupi gaun yang ternoda darah. Gadis itu mematuhinya tanpa berisik. Mereka muncul di jalan raya besar dan langsung mencegat sebuah taksi, menghabiskan sekitar dua puluh menit untuk membeku diam dan tidak menarik perhatian, memicu percakapan, atau mendorong kondisi ke situasi mencurigakan. Dilihat dari betapa sepi suasana di dalam mobil, sang sopir kelihatannya hanya menduga bahwa mereka adalah pasangan yang sedang bertengkar. Sebab ketika mobil taksi berhenti di depan gerbang rumah Jade, pria paruh baya itu menerima pembayarannya seraya berceletuk, “Berhenti bersikap seperti bocah, Nak. Gadis itu menunggumu bicara sesuatu untuk meminta maaf.”
“Ya?” Jade mengernyitkan alis dan terheran-heran. Namun sopir itu malah membalasnya dengan kedipan bersekongkol sebelum kembali melanjukan mobilnya menjauh.
“Orang aneh,” gerutu Jade, kemudian ikut menyusul Cordelia ke dalam rumah. Saat Jade menyela masuk dari pintu, dia telah disambut Joseph yang berdiri membeku di dekat ruang televisi.

KAMU SEDANG MEMBACA
𝐀 𝐋𝐀𝐃𝐘 𝐈𝐍 𝐓𝐇𝐄 𝐏𝐀𝐈𝐍𝐓𝐈𝐍𝐆
Vampire⭐ AKAN SEGERA PINDAH KE KARYAKARSA ⭐ Setelah terbebas dari penjara, Jade mendapat telepon dari seorang notaris yang mengatakan bahwa kakeknya baru-baru ini telah meninggal dan mewariskan sebuah rumah besar kepadanya. Saat Jade menyetujui menjadi ah...