RUSWER History Museum tidak memiliki kesan luar biasa di dalamnya. Serupa museum lain yang memamerkan barang-barang kuno, mereka juga memiliki atmofir masa lalu yang sama; suram, sunyi, dan membosankan.
Jade beserta kawan-kawan yang lain melangkah menyusuri lorong-lorong luas tempat berdirinya beberapa artefak atau patung-patung pemimpin dari masa lalu. Selagi Joseph dan Cordelia jelalatan di seantero ruangan, Jade mencari kesempatan untuk bicara dengan Isabel.
“Jadi,” kata Jade, “apa maksud Anda mengatakan hal tadi?”
“Yang mana?” Suara Isabel terdengar kelewat dalam untuk ukuran perempuan.
“Anda sudah menunggu saya sejak lama. Bagaimana Anda bisa tahu saya hendak kemari?”
“Oh. Aku hanya menduga kalau kau pasti bakal kemari, terutama bila kau sudah menyelidiki keterkaitan antara Madeline dan Walthrop.”
“Jadi Anda tahu konflik yang menjembatani hubungan Ibu dan Kakek saya melibatkan benda-benda masa lalu yang Anda simpan di dalam museum? Mengapa saat itu Anda tidak memberitahu saya?”
“Bukannya tidak mau memberitahu. Aku hanya tidak ingin kau kewalahan memikirkan hal yang tidak seharusnya. Dulu Madeline pernah bercerita bahwa dia tidak ingin melibatkan putranya pada masalah keluarganya, jadi aku merasa tidak memiliki hak untuk mencampuri urusanmu, apalagi berkata hal-hal yang kurang pantas untuk kuceritakan.”
“Oke. Sekarang aku ingin Anda memberitahukan semua rahasia tentang keluargaku.”
“Apa kau pikir aku tahu segala rahasia tentang keluargamu? Madeline bahkan sangat tertutup padaku. Aku hanya tahu sedikit hal yang bisa menambah bahan penyelidikanmu, Nak. Kaulah yang memiliki kendali seluruhnya untuk memutuskan; apakah kau akan lanjut, atau menyerah. Belok kemari.”
“Kedua pilihan itu terdengar sulit,” kata Jade.
“Keduanya memang berisiko besar.”
Jade menengok ke belakang dan melihat Cordelia berjalan sambil mengamati kotak kaca berisi tiruan serangga purba. Dia berpaling pada Isabel lagi, dan kepikiran untuk bertanya apakah wanita itu tahu sesuatu mengenai lukisan Cordelia yang disimpan di kamar utama sang kakek. Namun, niatnya urung, sebab mereka telah sampai di lokasi yang dituju.
Di hadapan mereka, di dalam kotak kaca yang dikelilingi palang-palang pemisah untuk menjaga jarak dari jangkauan pengunjung, berdiri sebuah patung batu pualam sebesar ukuran manusia asli. Tingginya barangkali hampir menyentuh dua meter, dengan kondisi nyaris sempurna―tidak ada gompal atau bagian patung yang rusak dan patah. Wajahnya memang tidak dipahat begitu detail, barangkali karena memang terkikis usia, tetapi dari gestur dan posenya yang berdiri seraya tengadah memandang kejauhan, terbaca jelas bahwa model patung ini merupakan seorang pria yang dianggap pemimpin di masa lalu.
Pada papan informasi yang tertera di bagian depan kotak kaca, tertulis sebaris kalimat yang dirangkai dari aksara hieroglif kuno. Di bawahnya ada translasi yang menunjukkan nama patung;
G U S T A V (1700 M)
Tidak berselang lama, Cordelia dan Joseph menyusul di belakang. Mereka berdua tampak terkesima melihat patung tersebut, tetapi Jade tidak sengaja menangkap geletar emosi aneh dari gerak-gerik dan ekspresi Cordelia. Entah apakah paras itu menunjukkan kekecewaan, kelegaan, atau justru keduanya.
“Seperti yang kau lihat, usia patung ini bila diperkirakan sudah ada sejak abad ke-17, periodenya dimulai sejak tahun 1601. Kalau dibandingkan dengan patung lainnya yang digunakan untuk berhala pemujaan kaum pagan, patung Gustav ini masih tergolong baru.” Isabel menjelaskan seraya mendongak menatap patung Gustav.

KAMU SEDANG MEMBACA
𝐀 𝐋𝐀𝐃𝐘 𝐈𝐍 𝐓𝐇𝐄 𝐏𝐀𝐈𝐍𝐓𝐈𝐍𝐆
Vampire⭐ AKAN SEGERA PINDAH KE KARYAKARSA ⭐ Setelah terbebas dari penjara, Jade mendapat telepon dari seorang notaris yang mengatakan bahwa kakeknya baru-baru ini telah meninggal dan mewariskan sebuah rumah besar kepadanya. Saat Jade menyetujui menjadi ah...