12. Mimpi

24 8 3
                                    

⚠️ Chapter ini mungkin mengandung adegan menjijikkan bagi sebagian orang ⚠️

.

.

.

.

.

KABUT di dalam mimpi menutupi awan, menyelimuti hamparan pantai yang lautannya tenang. Burung camar terdengar samar dari balik tirai kelabu yang membentang.

Bosan dengan pemandangan itu, Jade berputar dari jendela, lalu duduk di tepi kasur. Dia menghitung sudah berapa lama Ibu menguncinya di kamar ini. Tugasnya sederhana; Ibu memintanya untuk menunggu. Dan, Jade tak pernah keberatan menjalankan perintah itu. Dia selalu patuh dan hormat kepada semua orang yang menjaga nyawanya hidup.

Beberapa saat kemudian, pintu di belakangnya berkeriat terbuka. Jade turun dari kasur bersamaan dengan seseorang yang menyelinap masuk ke kamar. 

Dia adalah Cordelia, dalam balutan gaun tidurnya yang bersih dan melekat pas di tubuhnya yang ramping. Ekspresi gadis itu seperti langit yang diliputi kabut muram.

“Apa yang kau lakukan di sini?” Jade bertanya tanpa petunjuk. Suaranya terdengar lebih jernih dan dalam, sepadan dengan usianya yang saat itu baru menyentuh tiga belas tahun. “Ke mana Ibu?”

“Dia sedang pergi,” kata Cordelia. “Kakekmu memanggilnya.”

“Aku tidak punya kakek. Kalaupun ada, dia sudah mati bertahun-tahun lalu.”

“Kau punya kakek. Ibumu berbohong kepadamu, sama seperti ayahmu yang berbohong kepada ibumu.”

Bibir Jade merengus kecut. Cordelia melangkah mendekat, tetapi Jade justru mundur lebih jauh. Ketika punggungnya membentur birai jendela, Cordelia pun berhenti. Gadis itu jauh lebih menjulang darinya sehingga Jade harus mendongak saat berhadapan padanya.

“Jade, kau harus mundur sedikit,” bisik Cordelia.

Jemari Jade mencengkeram birai jendela dengan kuat. “Aku bisa jatuh.”

“Maksudku bukan mundur ke sana, tapi ke masa lalu.”

Kening anak itu mengernyit. “Apa?”

“Kau harus menghadapi masa lalu untuk menghindari takdir buruk di masa depan.” 

“Aku tidak―”

“Mau minum anggur?” Mendadak saja Cordelia mengeluarkan sebotol anggur dari balik punggungnya. Dia mengacungkan botol bening berisi cairan merah pekat di hadapan Jade dan mengguncang isinya pelan, lalu membuka tutupnya dengan mudah menggunakan gigi taring sebelah kanan.

Jade tak bereaksi apa-apa ketika Cordelia menumpahkan isi botol anggur itu ke puncak kepalanya, dan berikutnya merasakan sensasi sejuk cairan turun menuruni leher, menyusup ke punggung, merambat ke lengannya yang terhampar di bawah. 

Jade mengernyit, tak bisa bernapas, sebab anggur merah pekat itu juga menutupi pandangan dan memblokir napasnya. Hanya saja, tercium bau besi yang kuat, seketika menyelimuti hatinya dengan perasaan dingin yang mencekam, pedih, dan membunuh.

Bukan anggur. Darah.

“Jade, kau sudah janji padaku,” Cordelia bersuara pelan, yang bunyinya mirip kidung nyanyian paus di dasar lautan. Gadis itu merunduk dan berbisik tepat di telinganya;

“Kau tidak boleh mati.”

Kemudian Jade membiarkan mimpi itu luruh dalam pelukan kegelapan. Kesadarannya timbul-tenggelam, seakan dirinya terdorong oleh arus lautan berarak mengikuti muara sungai. Di antara kabut merah yang melapisi pandangan, dia merasakan sengatan rasa sakit yang tajam di perutnya. Begitu menyakitkan, seolah-olah seseorang menusukkan belati ke dagingnya, memuntirnya dengan kejam. Dia ingin berteriak, tetapi sekujur tubuhnya tak bisa bergerak. Suaranya tertahan di tenggorokan sementara rasa sakit itu semakin membengkak setiap detiknya.

𝐀 𝐋𝐀𝐃𝐘 𝐈𝐍 𝐓𝐇𝐄 𝐏𝐀𝐈𝐍𝐓𝐈𝐍𝐆 Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang