BEGITU pintu dibuka, Cassie langsung menyambutnya dengan pandangan khawatir. “Jade!”
“Cassie, maaf, aku―”
“Kau sudah dua hari tidak menghubungiku!” Lalu Cassie meraupnya dalam pelukan erat. Jade termangu membeku, dipilin keterkejutan dan kebingungan.
“Dua hari? Bukankah baru pagi tadi kita berbincang di telepon?”
Cassie melepaskan pelukannya dan menatap Jade dengan sorot luar biasa prihatin, seolah-olah ada yang aneh di otak anak ini. “Kau ini kenapa? Bukankah kau sendiri yang bilang akan menghubungiku saat makan malam? Aku menunggu telepon darimu tapi kau tidak kunjung menghubungiku. Dan ponselmu mati!”
“Benarkah?”
“Ya, tentu saja. Dan apa yang sebenarnya terjadi padamu? Apa kau sakit? Luka apa di kening dan lehermu ini?”
Cassie hendak menyentuh bekas luka di lehernya, tetapi Jade menepisnya duluan. Sikapnya membuat Cassie sedikit terpukul, tetapi gadis itu berusaha bersikap sabar, “Jade, aku serius. Kenapa kau seperti linglung? Apa yang terjadi selama kau tinggal di sini?”
Jade melupakan satu hal; dia belum menyiapkan alasan masuk akal yang bisa menjelaskan keadaannya pada Cassie.
“Begini, masuklah dulu.” Lantas Jade mempersilakan kekasihnya memasuki rumah. Sembari memikirkan alasan tepat sekaligus mencerna kebingungan situasi ini, dia harus membawa diri dengan baik tanpa menimbulkan rasa curiga. Bagaimana mungkin dia tidak sadar dua hari telah berlalu sejak peristiwa itu?
Di sisi lain, sesuai dugaannya, Cassie pun terhenyak melihat isi di dalam rumah. Namun, dibandingkan mengomentari betapa mewah tempat tinggal ini, sekarang ada hal yang jauh lebih genting untuk dikhawatirkan.
Gadis itu menghadap Jade. “Jelaskan padaku, kenapa kau seperti ini?”
“Aku tidak apa-apa, tuh. Memangnya kau pikir aku kenapa?” Jade berusaha nyengir dan terlihat baik-baik saja, tetapi reaksi itu dianggap gagal karena penampilannya yang kacau tak sejalan dengan pengakuannya.
Cassie membuka mulut, tetapi tidak ada apa pun yang keluar dari sana selain desau napas lelah. Gadis itu melipat kedua lengannya di dada dan berkata berat, “Kau sama sekali tidak bisa dihubungi, Jade. Kukira terjadi apa-apa padamu.”
Jade merasa tidak nyaman dengan sikap Cassie yang selalu mengingatkannya pada sang ibu. Seharusnya dia bersyukur pacarnya masih menaruh rasa perhatian kepadanya, tetapi semua afeksi ini malah membebani Jade seperti batu nisan yang ditimpakan di dada. Dia tak suka bila Cassie terlalu terseret ke dalam hidupnya yang terlalu banyak masalah. Dia hanya akan membuat pacarnya khawatir, dan Jade ogah disebut sebagai alasan rusaknya hidup seseorang.
“Cassie, kukira kau harus mengurangi sikap pencemasmu. Aku bukan anak kecil yang harus mengabarimu keadaanku setiap tiga jam sekali.”
Kata-kata itu menyinggung Cassie―dilihat dari alisnya yang layu dan pundaknya yang melorot. Jade membatin serapah karena lagi-lagi mulutnya begitu sembrono melontarkan sesuatu. Dia menggaruk belakang kepalanya yang tidak gatal dan berceletuk untuk menghilangkan kecanggungan, “Duduklah. Kau pasti capek setelah perjalanan. Aku akan―”
“Jade, tunggu dulu,” Cassie tahu-tahu mencubit sejumput kemeja yang dikenakan Jade. Tatapan tersinggung yang tadi belum lenyap, hanya saja kali ini ada sepercik keterkejutan yang membayang di sorotnya. Jade memperhatikan atensi Cassie mendarat pada pundaknya. “Astaga, apa ini darah? Kau sebenarnya kenapa?”
Rupanya bekas darah dari gigitan di lehernya meninggalkan noda mencurigakan di pakaiannya. Sial. Kini Jade semakin kelabakan untuk menjelaskan pada Cassie.
KAMU SEDANG MEMBACA
𝐀 𝐋𝐀𝐃𝐘 𝐈𝐍 𝐓𝐇𝐄 𝐏𝐀𝐈𝐍𝐓𝐈𝐍𝐆
VampirosSetelah terbebas dari penjara, Jade mendapat telepon dari seorang notaris yang mengatakan bahwa kakeknya baru-baru ini telah meninggal dan mewariskan sebuah rumah besar kepadanya. Saat Jade menyetujui menjadi ahli waris, dia datang ke rumah milik s...