Dave
Tidak bisa bertemu dalam
waktu dekat, Jade.Sibuk sekali belakangan ini.
Maaf..
.
.
JADE membalas pesan singkat Dave dengan selarik permintaan tolong agar pria itu berkenan menghubunginya beberapa hari kemudian. Selepasnya, ponsel itu kembali tergelincir ke kasur, terkubur bersama selimut dan bantal-bantal di kamar.
Ini masalah pelik. Bila Jade terus-terusan membiarkan dirinya tinggal bersama Cordelia, sama saja seperti memelihara bom yang sewaktu-sewaktu akan meledak. Dia, cepat atau lambat, harus segera memberitahu Dave tentang apa yang terjadi pada lukisan terkutuk itu. Kalau tidak, nyawanya akan terancam lantaran darahnya terkuras habis akibat memberi makan perut iblis terus-menerus.
Setelah beberapa hari mencoba berdamai dengan situasi, ketakutan Jade tak kunjung pudar. Cordelia masih tetap menyeramkan―gerak-geriknya serupa gagak hitam yang bertengger di atas ranting dan mengawasinya dengan keanggunan yang misterius. Gadis itu jarang berbicara. Dia lebih sering menatapnya lurus dan menunjukkan tanda-tanda seperti hendak melucuti aibnya sampai ke tulang. Terkadang, Cordelia akan tersenyum tanpa alasan, mendadak saja muncul di belakangnya seakan-akan baru melakukan teleportasi, atau berbicara dengan nada menggumam lirih―persis seperti tukang ramal yang membisikkan nubuatnya ke para korban.
Eksistensinya begitu memikat, gelap, tetapi tak terbaca. Laksana mawar hitam yang terkurung dan diawetkan di dalam kotak kaca.
Kemarin saat bangun tidur, Jade mendapati Cordelia berdiri memandang lukisan potret dirinya yang menggantung arogan di dinding. Sorotnya suram sementara atensinya terpaut pada bidang datar yang berparas identik dengan wajahnya. Saat Jade menanyakan apa yang Cordelia lakukan di sana, gadis itu membalas, “Aku kepikiran untuk membakar lukisan ini.”
“Kenapa?”
“Karena lukisan ini seperti memburuku.”
“Itu adalah potretmu, Cordelia.”
“Potret yang terkutuk.” Lalu Cordelia berpaling pada Jade yang masih berbaring sambil memeluk bantal di kasur. “Memiliki benda terkutuk bisa menyeretmu ke takdir kematian yang tidak wajar.”
“Itu kan dongeng zaman dulu.”
“Kau masih saja tak percaya sihir walaupun kau tahu aku sudah tinggal bersamamu selama beberapa hari ini.”
Sihir, katamu? Jade memejamkan mata rapat saat mengingat percakapan kemarin pagi. Anggapan mengenai Cordelia yang seorang penyihir lama-lama menjadi sesuatu yang masuk akal. Entah di masa lalu atau masa sekarang, makhluk pengisap darah dianggap sebagai dongeng mistis yang tidak masuk akal―penyihir licik, monster jahat, keturunan terkutuk, iblis yang lahir dari perut bumi. Satu hal yang dipermasalahkan Jade hanyalah perihal parasnya yang terlalu rupawan. Mengapa semua hal yang mengerikan terselubung oleh kemasan yang cantik? Apakah ini menjadi trik iblis untuk menjerat korban?
“Cassio?”
Suara ketukan di muka pintu membuat Jade terkesiap. Pemuda itu lupa bahwa dirinya sudah membiarkan benaknya terekspos terlalu lama. Apakah Cordelia barusan mendengarkan isi kepalanya?
“Ada apa?” tanya Jade.
“Ada orang yang mencarimu.”
Jade buru-buru turun dari kasur dan membuka pintunya lebar-lebar. Hari ini, Cordelia mengenakan gaun merah yang kainnya jatuh sampai menyeret lantai. Dia terlihat lebih ramping dan seksi dalam balutan satin yang licin, terutama karena potongan dadanya yang, astaga ... terlalu rendah.
KAMU SEDANG MEMBACA
𝐀 𝐋𝐀𝐃𝐘 𝐈𝐍 𝐓𝐇𝐄 𝐏𝐀𝐈𝐍𝐓𝐈𝐍𝐆
VampireSetelah terbebas dari penjara, Jade mendapat telepon dari seorang notaris yang mengatakan bahwa kakeknya baru-baru ini telah meninggal dan mewariskan sebuah rumah besar kepadanya. Saat Jade menyetujui menjadi ahli waris, dia datang ke rumah milik s...