KALIMAT itu serupa asap yang memenuhi paru-paru Jade, membuatnya sesak dan nyaris meledak saat itu juga;
“Apa maksudmu? Kenapa kau bilang kematian kita terhubung satu sama lain?”
“Memang seperti itu,” Cordelia berseru pelan. “Aku belum memberitahukannya kepadamu karena kupikir waktunya belum tepat.”
“Ini masalah serius, kau tahu, kan?”
“Ya, dan itulah sebabnya aku bilang kau akan sakit hati bila mengetahui kebenarannya.”
Berengsek. Jade melemparkan kepalanya ke bantal dan memejamkan mata rapat-rapat. Selama beberapa detik yang menegangkan, dia berusaha mengumpulkan kewarasannya agar bisa berpikir jernih. Pemuda itu bertanya lagi, “Apakah ini berlaku untuk sebaliknya? Kalau kau mati, aku juga akan mati?”
Cordelia mengangguk. Rahang Jade terkatup rapat.
“Baiklah, entah sudah di level kekacauan mana aku berada. Buat kejutan satu lagi dan aku akan kena serangan jantung di tempat!”
Saat Cordelia tidak membalas apa-apa, Jade mendorong dirinya bangkit dengan hati-hati, lalu bertanya sambil menahan sakit yang meradang di perutnya, “Katakan lebih banyak, Cordelia. Katakan semua hal tentang abare yang perlu kutahu. Jangan disembunyikan!”
Namun, bukannya penjelasan panjang lebar seperti yang Jade inginkan, Cordelia malah menyentuh dada Jade dengan lembut, menekan tubuh pemuda itu agar kembali berbaring. “Ini demi kesehatanmu. Untuk saat ini kau harus berbaring dulu.”
Jade menepis tangan Cordelia dengan kasar, “Aku perlu tahu. Sekarang!”
“Aku tidak ingat keseluruhannya, Jade!” Mata kelam Cordelia menatapnya lurus-lurus, seolah ingin menyampaikan fakta pahit itu mentah-mentah. “Sudah kubilang aku butuh waktu untuk mengumpulkan semua kepingan masa lalu, agar bisa memikirkan nasib kita berdua ke depannya!”
“Begitu? Jadi maksudmu, relasi batiniah kita juga belum pasti?”
“Sebagian yang kukisahkan kepadamu adalah sejarah yang masih kuingat. Aku tidak tahu bila ada pengecualian, atau informasi yang luput dari ingatanku.”
“Oke. Bagaimana kalau selamanya kau tidak bisa mengingat apa pun?”
“Entahlah. Tapi mengapa kau pesimis sekali?”
“Ini sikap realistis. Aku mengukur ekspektasi.”
“Kita akan tetap mengusahakannya, apa pun yang terjadi.”
Selepas kalimat itu dilesatkan, Jade tak bisa berkutik lagi. Cordelia membujuknya supaya kembali istirahat, sekaligus menakut-nakutinya tentang apa yang bisa dia lakukan dengan kekuatan psikokinesisnya; “Aku bisa membedah perutmu lagi supaya kau benar-benar tidak bisa beranjak dari kasur.”
Ekspresi Jade mengeras selepas mendengar ancaman itu. Lantaran tidak memiliki alasan untuk melawan, ditambah lagi lukanya memang belum sembuh, pemuda itu pun mengalah. Selama beberapa jam berikutnya, dia jatuh tertidur, sementara Cordelia tetap terjaga hingga matahari merayap naik.
-oOo-
Keesokan paginya, Jade terbangun dengan kondisi yang jauh lebih baik―nyaris sehat, bila saja dia tidak kelepasan menekan perutnya yang masih diperban. Saat pemuda itu berguling ke samping, benaknya dikejutkan dengan wajah Cordelia yang tidur menghadapnya. Hampir saja dia jantungan.
Kenapa dia tidur di kasurku?
Jade urung protes, sebab teringat upaya Cordelia untuk menyelamatkannya. Bohong bila Jade tidak merasa berterima kasih, sekalipun dia tahu betapa mengerikannya gadis ini. Dan, kendati Cordelia masih perlu diwaspadai perihal aksi kanibalismenya, itu tetap tidak membenarkan Jade untuk memperlakukannya bak binatang. Sebab gadis itu memang tidak sama dengannya. Dia lahir dan hidup di dalam budaya abare yang menggentarkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
𝐀 𝐋𝐀𝐃𝐘 𝐈𝐍 𝐓𝐇𝐄 𝐏𝐀𝐈𝐍𝐓𝐈𝐍𝐆
VampireSetelah terbebas dari penjara, Jade mendapat telepon dari seorang notaris yang mengatakan bahwa kakeknya baru-baru ini telah meninggal dan mewariskan sebuah rumah besar kepadanya. Saat Jade menyetujui menjadi ahli waris, dia datang ke rumah milik s...