“MAKHLUK pengisap darah.”
Frasa itu dilesatkan Cordelia dengan lirih. Tatapan matanya tidak berbohong, Jade tahu itu, dan entah bagaimana bulu kuduknya merinding setelah mendengarnya. Cordelia menceritakan tentang semua percakapan yang didengarnya dari empat preman tempo lalu, mengantisipasi reaksi Jade.
“Sepertinya harus diselidiki sendiri,” kata Jade. “Aku orang baru di kota ini, jadi tidak tahu-menahu soal rumor itu.”
“Baiklah, kalau begitu ayo kita selidiki!”
Cordelia tiba-tiba bangkit dari undakan teras. Dengan gaya anggun, menepuk-nepuk roknya. Mendadak saja gerak-geriknya menjadi bersemangat. “Mari pergi ke rumah tetangga kita dan bertanya langsung pada mereka.”
“Tetangga kita? Rumah ini masih di bawah hakku!”
“Aku tinggal lebih lama daripada kau.”
"Kau hanyalah gambar yang tidak bergerak."
"Tidak mematahkan fakta semula kalau aku yang berada lebih lama di sini."
Saat Jade hendak membalas argumen, mendadak saja bunyi keriut logam membuat mereka berdua terkesiap. Gerbang rumah didorong dari luar, dan masuklah dua pria lewat celah yang terbuka.
Jade terkejut melihat sepasang wajah familier itu.
“Siapa mereka?” Cordelia terpaku menatap.
“Dave,” bisik Jade, kebingungan harus bereaksi apa. “Dan juga Joseph, si berengsek.”
Lalu tanpa menunggu tanggapan Cordelia, pemuda itu menghampiri keduanya. Dave dan Joseph berduyun memasuki halaman dengan raut wajah terperenyak―percampuran antara tersihir dan terpana saat melihat Cordelia.
Dave, si pria empat puluhan yang mengenakan pakaian formal―setelan jas musim dingin, akhirnya sadar duluan dari reaksi konyolnya. Dia berpaling pada Jade. Rautnya berubah bingung, “Jade, Ya Tuhan, apa yang terjadi padamu? Kau seperti orang sakit!”
“Secara teknis, aku memang baru sembuh dari sakit.” Pasti parasnya yang kuyu dan cara jalannya yang pincang membuat semua orang kebingungan. “Dave, kenapa kau tiba-tiba kemari? Dan Joseph? Apa yang kau―”
Bugh! Satu tinju Joseph mendadak saja bersarang di rahang Jade. Pemuda itu terjungkir ke tanah dengan kasar. Jade bangkit pelan-pelan sambil berusaha tak memikirkan perutnya yang berdenyut-denyut mengerikan. Dia berkata terengah-engah pada kawannya,
“Sial, apa yang … kau lakukan?”
Ekspresi serius Joseph tahu-tahu mencair menjadi cengiran jail. “Maaf, Bung. Itu tadi pesan dari Cassie.”
“Apa?”
“Cassiopeia, mantanmu. Dia berpesan untuk menonjokmu agar kau sadar betapa berengsek dirimu.”
Jade, yang masih melongo dengan keseluruhan situasi ini, berpaling menatap Dave untuk meminta penjelasan. Namun, perhatian Dave tampaknya bukan tertuju padanya, melainkan pada Cordelia yang menghampiri mereka bertiga. Mata Cordelia menatap Joseph dengan murka. Raut wajahnya mengeras, bersamaan dengan sulur-sulur nadi keunguan yang merambati leher―Jade yakin gadis itu akan berubah ke wujud aslinya yang sepucat mayat dengan dua bola mata laksana sumur tinta.
Jadi, sebelum keributan kecil ini berubah menjadi malapetaka, Jade buru-buru merangkul Cordelia, lalu sedikit memiringkan wajah dan berbisik-bisik agar dia tenang (yang malah menimbulkan salah paham, lantaran Jade tampak seperti sedang mencium gadis cantik itu).
Beberapa detik kemudian, Cordelia melunak. Nadi keungunan telah menghilang, dan aura ketegangan di antara mereka berangsur luntur.
“Nah, Cordelia, perkenalkan. Dia Dave, notarisku. Lalu yang ini kawanku sejak SMA, namanya Joseph,” kata Jade, yang langsung merapatkan diri pada Joseph sambil merangkul bahunya. Ekspresinya dibuat seriang mungkin. “Kami sangat akrab, iya, kan Joseph?”
KAMU SEDANG MEMBACA
𝐀 𝐋𝐀𝐃𝐘 𝐈𝐍 𝐓𝐇𝐄 𝐏𝐀𝐈𝐍𝐓𝐈𝐍𝐆
VampireSetelah terbebas dari penjara, Jade mendapat telepon dari seorang notaris yang mengatakan bahwa kakeknya baru-baru ini telah meninggal dan mewariskan sebuah rumah besar kepadanya. Saat Jade menyetujui menjadi ahli waris, dia datang ke rumah milik s...