37. Lula

57 16 0
                                    

KAMAR itu terlihat, bila cahaya matahari tersingkap dari kerai jendelanya, berlapis kesuraman yang memabukkan. Barangkali Caspian tahu bahwa dirinya bertanggung jawab atas segala kekacauan yang terjadi semalam―atas gaun merah dan pakaian dalam yang dicampakkan di lantai, atas darah yang merembes di antara selimut dan bantal, serta sosok wanita yang tertidur miring seraya memeluk pinggang Caspian di atas kasur. 

Kepala Lula terhampar di lengan Caspian yang dibentangkan di antara dua bantal. Wanita itu masih tertidur pulas setelah memasrahkan darahnya diisap oleh entitas abare yang memikat―Caspian Pellianore, yang telah mengikrarkan sepanjang hidupnya untuk memuja dan mendambakan Lula Briswel karena kecantikan dan kepribadian yang dibawanya. Ada dua bekas gigitan di leher Lula yang jenjang, tetapi sekarang luka koyak itu telah mengering dengan cepat.

Tidur wanita itu sedikit terganggu karena pergerakan tangan Caspian, jadi Lula melenguh tipis dan malah menyurukkan wajahnya lebih dalam ke dada si pria. 

Caspian yang telah terbangun, menggulingkan tubuh untuk merengkuh Lula lebih erat. Dia menyugar rambut Lula yang tergerai panjang melewati bahu. Warna rambut putih gadingnya sungguh kontras dibandingkan kulit Lula yang gelap laksana lelehan cokelat. Akan tetapi benturan mencolok ini malah membuat penampilan Lula terlihat lebih menarik―glamor dan menyita perhatian.

Bagaimana mungkin ada manusia yang seperti Lula? Caspian selalu berpikir kaum abare adalah makhluk yang paling memesona. Mengenal mereka semudah membedakan kejernihan air dan lumpur. Sama seperti saat dia bertemu Cordelia pertama kalinya di tengah-tengah pekarangan Walthrop Bailey. Entitas Cordelia bagaikan mawar hitam yang menguasai lautan bunga yang warnanya pudar dan membosankan. Namun, Cordelia bagi Caspian adalah makhluk seperti dirinya. Tentu statusnya amat berbeda dengan Lula, yang sejatinya merupakan manusia―kaum lemah dari ras yang muda ditipu dan dikalahkan. 

Akan tetapi, saat mengenal Lula, Caspian justru melupakan kehormatan-kehormatan yang dibawanya sebagai abare. Dia melewati batas keraguannya dan menggantungkan seluruh hidupnya pada Lula alih-alih mencari pasangan yang setara dengan kaumnya. 

"Tengah keningmu berkerut."

Tahu-tahu saja ujung telunjuk Lula mendarat dengan lembut di dahi Caspian. Pria itu mengerjap sadar dari lamunannya, lalu menengok pada kekasihnya. "Kau ini sedang memikirkan apa, Cas?"

"Tidak ada," kata Caspian, tersenyum lemah. Tangannya terhampar di sisi kepala Lula yang menyandar lembut di dadanya. 

"Abare seharusnya tidak bisa berbohong. Tapi kau berbohong pada orang lain dan menyembunyikan terlalu banyak hal dariku, sampai-sampai aku kesulitan untuk meraba dan menggali isi pikiranmu." Lula menyahuti dengan berat. Sebagai seorang budak darah yang telah hidup cukup lama bersama Caspian, wanita itu tahu bahwa dirinya memiliki kuasa untuk menjelajah ke setiap relung emosi Caspian. Akan tetapi, semakin lama pria di hadapannya ini semakin cerdik untuk merahasiakan sesuatu. Lula tidak tahu secara pasti sejak kapan Caspian berubah menjadi sedemikian misterius. Mungkin sekitar dua atau tiga bulan lalu, yang penyebabnya pun belum diketahui secara pasti. 

"Abare bukan tidak bisa berbohong. Kami hanya tidak memiliki alasan untuk menutupi sesuatu, terutama pada orang yang kami anggap penting," kata Caspian, yang kini menatap langit-langit di kamarnya dengan pandangan suram. Jawabannya barusan bukannya membuat puas, malah membuat Lula lebih penasaran lagi.

"Jadi kau bisa berbohong pada orang lain?"

"Kalau itu diperlukan, iya. Tapi aku tidak pernah berbohong darimu, Lula. Sebab kau adalah bagianku juga."

"Tapi selama ini kau berusaha menutupi sesuatu dariku."

"Yah, berbohong dan menutupi sesuatu itu dua hal yang berbeda," kata Caspian. "Dan mengapa kau menuduhku seperti itu?"

𝐀 𝐋𝐀𝐃𝐘 𝐈𝐍 𝐓𝐇𝐄 𝐏𝐀𝐈𝐍𝐓𝐈𝐍𝐆 Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang