INI merupakan pertama kalinya Cordelia menangis semenjak keluar dari lukisan. Tidak jelas emosi apa yang dia rasakan, tetapi jantungnya terasa seperti disobek-sobek dan napasnya direnggut paksa. Dengan susah payah, gadis itu berdiri limbung di pinggir meja, mencoba mencerna keanehan apa yang terjadi, sementara Joseph yang sejak tadi berada di dekatnya mulai menunjukkan tanda-tanda khawatir.
“Hei, jangan menakut-nakuti begini. Sebenarnya apa yang terjadi pada kalian berdua?” Joseph memprotes lemah sambil ragu-ragu memegang pundak Cordelia. “A-apa kalian keracunan burgernya?”
Dengan raut tanpa petunjuk, Joseph menyambar burger milik Jade yang masih sisa setengah dan menciumi aromanya. Tidak ada yang aneh. Pemuda itu masih memikirkan kemungkinan-kemungkinan lain ketika mendadak saja Cordelia keluar dari bangku, lalu pergi ke toilet di seberang untuk menyusul Jade.
“Hei―”
Seruan Joseph terputus. Terlambat.
Ketika memasuki lorong kamar mandi, Cordelia melihat tiga deret bilik kamar mandi terbuka, sementara bilik yang paling ujung tertutup. Sudah pasti Jade ada di baliknya. Gadis itu berdiri di hadapan pintu, termenung sejenak. Otaknya masih belum jernih karena dadanya berdebar tak karuan; rasanya sakit, dan sesak. Dia berusaha mengambil napas sambil menghitung pelan-pelan dalam hati―entah metode penenangan diri ini dia dapatkan dari mana, tetapi rasanya tubuh dan pikirannya secara alami membaca data informasi dan pengalaman yang dahulu pernah dia pelajari.
Betapa memalukannya. Rasa sakit ini ... bermula ketika Cordelia mulai menaruh rasa iri hati kepada Cassie. Mantan kekasih yang masih dicintai, juga cinta pertama yang menduduki singgasana terakhir di hati Jade. Cordelia tidak tahu mengapa efeknya bisa membuat seluruh tubuhnya terguncang, dan mengapa pula Jade turut merasakan hal yang sama. Apakah saat ini ikatan batin di antara keduanya semakin erat?
Bukankah ini artinya buruk?
Tidak mau larut dalam masalah, Cordelia akhirnya mengetuk pintu bilik toilet pelan-pelan. “Jade, keluarlah.”
Selama beberapa detik, tidak ada suara. Kemudian, pintu ditarik terbuka dari dalam. Wajah Jade yang pucat dan berkeringat menatap Cordelia. Pemuda itu keluar dari bilik toilet dengan sisa napas yang masih terpotong-potong.
“Apa yang kau lakukan?” adalah pertanyaan pertama yang dilesatkan Jade. Nadanya terdengar dingin, namun lemah.
Cordelia tidak tahu. Dia tidak pernah menyangka bahwa Jade akan merasakan api kecemburuan dan sakit hati yang sama sepertinya. Lantas hal apa yang bisa Cordelia lakukan untuk mengelak? Dia tidak memiliki pilihan selain mengakuinya.
“Jade, aku ....”
“Kau menghukumku karena aku masih mencintai Cassie?” Kata-kata Jade barusan menusuk Cordelia, membuat gadis itu tersinggung bukan kepalang.
“Aku tidak menghukummu,” desis Cordelia, tegas.
“Kau pernah hampir mematahkan tanganku ketika aku berusaha untuk tidak menurutimu. Dan sekarang, kau mencoba meledakkan jantungku hanya karena aku mencintai orang yang tidak salah apa-apa?” Kini Jade melangkah maju, sementara Cordelia mundur pelan-pelan hingga punggungnya membentur sudut dinding. Gadis itu tidak sedikit pun merasa takut, tetapi dia lebih khawatir bila reaksi darinya akan mementik amarah lebih besar dalam benak Jade. Bayang-bayang dirinya ditinggal sendirian dalam kegelapan membuat Cordelia cemas.
“Aku bersumpah aku tidak menghukummu. Kau tahu aku tidak pernah berbohong di hadapanmu,” kata Cordelia.
“Lalu mengapa dadaku terasa sakit?” Jade menyentuh dadanya sendiri dan mencengkeramnya pelan. Kata-katanya tercekik dengan emosi dan kesedihan yang semakin meradang. “Di sini ... sakit sekali, seperti dirobek sesuatu.”

KAMU SEDANG MEMBACA
𝐀 𝐋𝐀𝐃𝐘 𝐈𝐍 𝐓𝐇𝐄 𝐏𝐀𝐈𝐍𝐓𝐈𝐍𝐆
Vampire⭐ AKAN SEGERA PINDAH KE KARYAKARSA ⭐ Setelah terbebas dari penjara, Jade mendapat telepon dari seorang notaris yang mengatakan bahwa kakeknya baru-baru ini telah meninggal dan mewariskan sebuah rumah besar kepadanya. Saat Jade menyetujui menjadi ah...