Alex memandang Adrian dengan rasa penasaran yang kian membuncah. Sahabatnya yang biasanya santai itu terlihat seperti orang frustasi.
“Kenapa lu, Dri?” tanyanya, mencoba membangkitkan semangat Adrian.
Adrian langsung menoleh dengan ekspresi campuran antara kaget dan malu. “Tadi Ayana lihat gue telat!” keluhnya.
Alex menahan tawanya, wajahnya mencoba tetap datar meski bibirnya hampir pecah menahan geli. “Terus? Cuma itu doang?”
“Udah, itu aja. Tapi kan gue malu banget!” kata Adrian, terlihat resah.
Alex akhirnya tertawa. “Kalau gue jadi lu, gue juga malu, Dri. Telat di depan gebetan, ketua kelas pula!”
Seketika wajah Adrian memerah, baru menyadari betapa malunya posisinya. “Aish, tambah malu gue, Al!” ucapnya sambil merengek seperti anak kecil.
Alex pun tertawa makin keras. “Cup, cup, cup. Jangan nangis, dedek Adrian!” ledeknya, menepuk-nepuk bahu sahabatnya dengan gaya sok menghibur.
Adrian melotot, merasa gerah dengan sikap Alex yang malah membuat situasinya semakin konyol. “Anjirr, lu ya!”
“Lucu, Dri, sumpah!” Alex membuat tanda damai, tapi tawa jahilnya masih terdengar.
“Gak ada yang lucu, njir!” gerutu Adrian sambil mendesah panjang.
“Lucu kalau bagi gue!” sahut Alex, tetap dengan senyum meledek.
“Tawa aja terus! Sampai mati!” sindir Adrian, berharap Alex akhirnya berhenti.
Namun, tak disangka, Alex benar-benar terbatuk. “Uhuk, uhuk.” Ia terdiam sejenak, mencoba menahan batuk yang tiba-tiba.
Adrian buru-buru mengambil botol minum Alex dan menyodorkannya. “Nah kan, kualat tuh sama gue!”
Alex menerima botol itu sambil tersedak sedikit, lalu menenggak airnya. “Keselek gue!”
“Kualat lu! Dari tadi ketawa melulu!” balas Adrian dengan nada puas.
Akhirnya Alex menyerah dan mengangkat tangan, “Iya deh, maaf, Dri!”
Adrian hanya menghela napas panjang sambil mengambil buku paket dari dalam tasnya, berniat mengalihkan pikirannya. Tapi tiba-tiba datanglah Tania, berjalan ke arah mereka dengan langkah cepat. Alex melirik dan menahan tawa, sedangkan Adrian berusaha fokus pada bukunya.
“Karel!” panggil Tania, tanpa basa-basi.
Adrian hanya mendesah tanpa menjawab, sibuk membalik-balik halaman buku.
“Karel!” panggil Tania lagi, sedikit lebih keras kali ini.
“Hm,” deham Adrian pelan, tapi tetap tidak melihat ke arah Tania.
Tania menghela napas, lalu bertanya, “PR Matematika udah selesai belum?”
“Dah,” jawab Adrian singkat, suaranya dingin.
“Lihat dong!” pinta Tania dengan nada manis, mencoba meluluhkan Adrian.
“Gak,” jawab Adrian tegas, masih fokus ke bukunya seolah Tania tidak ada di sana.
“Cuman nomor 5 doang kok!” rengek Tania, berharap Adrian akan luluh.
Namun, Adrian tetap menolak tanpa ampun. “Gak,” ulangnya, tetap dengan nada yang sama.
Tania tampak putus asa, tapi tidak mau menyerah. “Kalau gitu, ajarin aja,” pintanya lagi.
Adrian akhirnya mendongak, melirik sekilas ke arah Tania dengan ekspresi datar. “Gue lagi sibuk, Van. Cari yang lain aja, ya?” ucapnya sambil kembali fokus ke bukunya.
Tania mendesah pelan, tampak kecewa. Ia berdiri di sana beberapa detik, berharap Adrian akan berubah pikiran, tapi Adrian benar-benar tidak menoleh lagi. Setelah beberapa saat, akhirnya Tania menyerah dan pergi, meninggalkan Adrian yang masih fokus dengan bukunya.
Melihat itu, Alex kembali tertawa kecil. “Keras banget lu sama Tania, Dri. Kalau gak mau, bilang aja baik-baik kali.”
Adrian mendengus. “Dia itu cuma mau numpang nyontek. Gue bukannya gak mau bantu, tapi kan gak adil kalau cuma dia yang nyantai, sementara yang lain belajar.”
Alex mengangguk-angguk, paham maksud Adrian. “Paham gue, Dri. Tapi, kayaknya Tania tuh niatnya lebih dari sekadar nyontek,” goda Alex dengan senyum lebar.
Adrian hanya menggeleng, berusaha mengabaikan ledekan Alex. “Sini, kita belajar beneran aja daripada mikirin yang gak penting,” ujarnya sambil membuka halaman lain.
Dan dengan begitu, mereka pun melanjutkan belajar, sementara Alex masih tersenyum tipis, masih merasa geli dengan kekakuan Adrian yang selalu blak-blakan pada Tania.
Bersambunggg...
KAMU SEDANG MEMBACA
Karina
Teen FictionKarina, gadis ceria dari Bekasi, mendapati hidupnya berubah drastis saat pindah ke Jakarta. Sikapnya yang dulu hangat kini menjadi dingin dan tertutup. Di sekolah baru, ia terus-menerus dijahili oleh Karel, cowok terkenal yang cuek dan sulit ditebak...